Bagai seseorang menyerabut pohon sampai ke akar-akarnya, dengan keras dan kasar. Badan Tyaz seperti ditarik oleh berpuluh-puluh orang dengan rantai yang membelit perutnya. Ia terbangun dengan napas tersengal-sengal. Peluh dingin membasahi tubuhnya, wajahnya memucat, bibirnya membiru seperti orang kedinginan, tangannya bergetar. Kebiasaannya jika ia mengalami mimpi buruk.
Suara langkah kaki terdengar menggema di sepanjang lorong, ketukan sepatu dengan lantai pualam terdengar berirama, ia tahu jelas penyihir itu akan datang menemuinya.
Pintu kamar tempat Tyaz tidur dibuka, terlihat Blue di sana. Senyum tipis terukir di bibir peach-nya, wajahnya terlihat lebih segar daripada biasanya—kusut karena Tyaz terus-terusan bertanya ini-itu. Blue melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk di tepinya.
“Kau sudah bangun, syukurlah sihir tertidur tidak mempengaruhimu terlalu lama. Kau hanya tertidur selama 24 jam, mungkin karena jiwa pangeran yang terus melawan sihirku.” Blue tersenyum tipis.
Tyaz tidak merespons, tangannya masih gemetar. Memori itu masih terngiang-ngiang di kepalanya, fakta bahwa dirinya pernah ke sini dan bertemu dengan pangeran, dan secara tidak sengaja dia membuat jalinan takdir dengan kisah di Kerajaan Kegelapan.
“Kenapa kau diam saja?” tanya Blue penasaran. Tidak biasanya Tyaz hanya diam saja, ada setan apa yang merasukinya sehingga anak itu bungkam.
Bibir Tyaz gemetar, hendak mengucapkan sepatah kata, tetapi terasa sulit, seperti ada yang mengunci mulutnya. “Mim-pi i-tu.”
“Ada apa? Kenapa dengan mimpi itu? Kau baik-baik saja, kan?” Blue mulai khawatir karena mendengar suara Tyaz yang bergetar ketakutan, juga dengan wajahnya yang pucat bak mayat.
Tyaz tidak menjawab, dia mengatur napasnya yang terasa sesak. Tangannya memukul-mukul dadanya, berusaha mengusir rasa sakit yang membara di sana. Beberapa menit kemudian, dia merasa tenang. Pandangannya menatap kosong dinding dekat pintu.
Blue duduk lebih dekat dengan Tyaz, gadis itu menyentuh lembut bahu Tyaz, menyalurkan kekuatannya yang bisa menenangkan seseorang. “Apa sekarang kau sudah merasa baik? Ceritakanlah apa yang membuatmu khawatir.”
Blue tersenyum lembut sembari mengelus pelan bahu Tyaz.
“Gadis itu.” Tyaz menatap Blue lamat-lamat. “Katakanlah padaku bahwa dia masih hidup.”
Tyaz mengenggam tangan Blue yang lain, berharap penyihir itu memberikan kabar baik. Apa yang lebih menyakitkan dari melihat orang yang disayanginya meninggal di depannya? Dan lebih parahnya lagi orang itu mengorbankan nyawanya demi Tyaz.
Blue menggeleng. “Aku tidak tahu. Sebenarnya aku juga tidak sepenuhnya mengetahui siapa gadis itu. Dia masih hidup atau tidak, dia terlalu misterius, aku tidak tahu. Maafkan aku.”
Tyaz melepas tangan Blue kecewa, helaan napas putus asa terdengar. “Dia ... terbunuh di depanku. Dia ... tiba-tiba menghilang.”
“Sudahlah, jangan terus mengingatnya. Kematian itu sebuah peristiwa yang biasa, semua orang pun akan mengalaminya, kau, aku. Jangan menyakiti dirimu sendiri dengan terus bersedih, yang lalu biarlah berlalu. Aku sudah terbiasa melihat kematian orang-orang, mereka datang lalu pergi,” ujar Blue.
Tyaz mengernyitkan dahi, seharusnya Blue menenangkan Tyaz dengan kalimat itu, tetapi entah kenapa dia merasa kata-kata Blue sama sekali tidak bisa menenangkannya. “Kenapa kau berkata seolah-olah dia sudah mati?”
Blue mengedikkan bahu. “Bukankah kenyataannya seperti itu. Lagi pula tidak akan ada manusia yang bisa hidup setelah jantungnya tertusuk, kan?”
“Jadi, maksudmu aku bukan manusia? Ingat ini, jantungku sudah tertusuk dua kali.” Tyaz menunjukkan dua jarinya. “Dan aku masih bisa bernapas sampai sekarang, jantungku juga masih baik-baik saja, tidak ada bekas luka tusuk.”
Blue mengangkat kedua sudut bibirnya samar. Sepertinya nyawa Tyaz sudah kembali seutuhnya, tidak lagi ada lelaki murung karena gadis-nya hilang entah ke mana, masih hidup atau tidak, setidaknya dia sudah kembali banyak bicara dan ceria.
“Karena aku yang menolongmu dan menghilangkan bekas luka itu,” ucap Blue.