Tyaz menyusuri pedesaan yang berada di dekat Istana Kegelapan, salah satu keanehan di tempat ini, Kota Tyrex lebih banyak daerah perdesaan daripada perkotaannya sendiri, Tyaz berpikir sejenak, kenapa tidak dinamai desa Tyrex saja alih-alih dinamai kota? Tyaz menggelengkan kepala, kenapa juga dia memikirkan hal itu? Bukan urusannya juga.
Pemuda itu mendongakkan kepala, menatap langit yang hari ini lebih bersahabat, setidaknya tidak hujan walaupun kegelapan masih mendominasi, kabut tebal masih setia menggantung di langit senja seakan-akan langit yang meminta kabut untuk menemaninya agar tidak kesepian.
Hari ini Tyaz hanya ingin sendiri, ada banyak hal mengganjal pikirannya, ia butuh menenangkan pikirannya. Dia merasa khawatir dan takut. Khawatir kalau dia tidak bisa mengembalikan jiwa pangeran dan tidak bisa memenuhi permintaan Blue. Takut kalau dia tidak bisa kembali ke Bumi, atau lebih buruknya dia terbunuh di tempat ini.
Tyaz tidak ingin mati sekarang, dia masih punya banyak kesalahan pada Myth. Ia masih ingat, terakhir kali dia bertemu dengan Myth saat gadis itu memberikannya sebuah dokumen dan Tyaz membuat air mata teman masa kecilnya itu menetes. Tyaz sungguh-sungguh ingin meminta maaf pada Myth. Tyaz juga belum meminta maaf kepada teman-teman kesayangannya, Jay, Joo dan Diaz. Ia juga masih punya kesalahan pada Ibu Panti dan belum sempat meminta maaf. Kalau dipikir-pikir lagi, Tyaz sama sekali belum mempersiapkan diri untuk mati.
“Akkh!” Tyaz mengacak rambutnya frustasi.
Pemuda itu berjalan dengan gontai menuju hutan tak bertuan, hutan dengan monster beruang yang tinggal di dalamnya. Tidak, Tyaz tidak akan melakukan hal bodoh dengan menyerahkan dirinya pada monster beruang itu. Dia hanya ... frustasi, tidak tahu harus melakukan apa.
Tyaz merasa semua yang dia lakukan itu salah, hatinya gelisah. Dia ingin sekali marah, tapi tidak tahu siapa yang harus disalahkan dan kenapa. Ingin sekali rasanya dia menangis dan berteriak, tapi tidak bisa. Tyaz tidak seperti Myth yang bisa memadamkan panas di hatinya dengan menangis dan akan lega.
Dengan mata sayu Tyaz mengedarkan pandangan. Tidak ada lagi orang-orang berpakaian aneh dengan membawa tombak itu. Semua terasa sepi dan Tyaz tidak terbiasa dengan suasana itu, berbanding terbalik dengan kondisi asramanya di bumi—ramai seperti pasar, apalagi saat makan malam.
Tyaz menghentikan langkahnya saat beberapa meter akan ke hutan, dia masih berada di desa, kalau tidak salah ia sekarang berada di pasar umum Kota Tyrex. Terlihat dari kios-kios yang tertutup, juga beberapa gerobak pengangkut barang. Sepertinya tempat itu famier.
“Aku rasa pernah melewati jalan ini bersama Pangeran Hydo tiga tahun lalu,” gumamnya sembari menyentuh salah satu kioas yang berdebu.
Tyaz melupakan sesuatu, bahwa dirinya tidak bisa ke hutan pada malam hari karena di sana pasti gelap dan sangat menakutkan. Dan satu lagi, Hydo pernah bercerita bahwa di sana ada banyak orang yang mati. Arwah penasaran. Dan Tyaz juga tidak ingin mati kedinginan di sana, karena saat malam hari, hutan tak bertuan akan sangat dingin, kontras dengan daerah di sekitarnya yang panas sekali.
“Ah, andai aku bisa melawan fobia itu.” Tyaz menghela napas kecewa, dia menyandarkan punggungnya di salah satu pohon dekat kios.
Matanya menatap langit yang ditaburi ribuan bintang, tampak indah, setidaknya sedikit membantunya mengurangi kegelisahannya. Malam ini bulan bersinar cerah dengan cincin cahaya yang membingkainya.
Tiba-tiba Tyaz teringat percakapannya dengan Blue saat di istana sore tadi.
“Aku ... harus bertanggung jawab,” gumam Tyaz saat itu, lantas dia mengangguk-angguk setelah mempertimbangkan beberapa hal. “Kau benar, aku harus bertanggung jawab. Lantas bagaimana kalau kulakukan saja sekarang?”
“Sekarang? Apa maksudmu?” Blue masih tidak mengerti.
“Aku akan menembalikan jiwa pangeran sekarang juga, supaya pikiranku tidak terbebani dan aku juga terbebas dari tanggung jawab itu, bukankah katamu aku harus membantu mengembalikan kota ini dengan mengembalikan jiwa pangeran?” Tyaz menaikkan kedua alisnya.
“Walau kau ingin membebaskan tanggung jawabmu sekarang, tetap tidak bisa, Tyaz,” ujar Blue menekan kata-katanya.
“Kenapa tidak?”
“Semua ada masanya, Tyaz. Tidak bisa kau bebas mengembalikan jiwa itu, kecuali penyihir terkuat, Penyihir Putih, dia bisa melakukan apa saja karena kehebatannya.” Blue menghentikan ucapannya sejenak. “Blood moon, saat bulan berwarna merah. Itulah saat yang tepat, kau harus mengembalikan jiwa pangeran. Menurut perbintangan berarti ..., dua malam lagi.”
Dua malam lagi?
Angin yang tiba-tiba berembus kencang seperti hendak merobohkan benteng pertahanan pemuda itu mengembalikannya ke realita.
“Memangnya bulan berwarna merah itu ada?” gumam Tyaz, dia tidak terlalu mengerti tentang perbintangan, dia hanya menyukai bintang-bintang malam yang bersinar tanpa harus memusingkan teori-teori.
Memutuskan untuk bangkit dan berjalan lagi tak tentu arah. Entah kenapa hati Tyaz tidak bisa tenang barang sejenak, biasanya, hanya dengan mendongak ke langit dan melihat alam semesta yang luas itu hatinya akan tenang. Mungkinkan dia merasa khawatir akan hipotesisnya sendiri yang mengatakan bahwa dirinya akan mati setelah dia mengembalikan jiwa pangeran?
Tidak, tidak! Tyaz menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan pikiran buruk yang menggelayuti otaknya.