Tiga tahun lalu, saat Pangeran Hydo mengajak Tyaz untuk bertemu dengan seseorang.
“Siapa yang akan kita temui?” tanya Tyaz saat sampai di sebuah bangunan megah, dengan banyak prajurit dan dayang-dayang—eh, apakah mereka bisa disebut dayang?—seperti yang pernah dilihatnya di drama-drama kolosal.
“Kita akan menemui Achilles Blue, dia penyihir terbaik di kerajaan ini,” jawab Hydo.
Hydo menghentikan langkahnya, lalu mengetuk pelan ruangan di depannya. Tyaz hanya memperhatikan Hydo, ia kini kembali memakai wajah aslinya alih-alih memakai wajah Tyaz, tetapi sesekali masih ada yang salah mengenali kalau Tyaz itu Pangeran Hydo.
Tyaz tidak lagi memedulikan di mana dirinya sekarang, yang terpenting dia masih bisa bernapas, hanya itu. Tyaz sangat bersyukur dirinya diberi kesempatan untuk hidup setelah apa yang dialaminya, kalaupun berada di tempat ini merupakan sebuah kesalahan, Tyaz akan memperbaikinya. Nanti.
Tanpa disadarinya, Tyaz perlahan melupakan kesedihannya ... karena, kehilangan Tessa.
“Apa kau mau berdiri di situ terus, Teman?” Tyaz tersadar dari lamunannya, entah sudah berapa kali dia melamun hari ini. “Ayo masuklah! Blue sudah menunggu kita.”
Hydo mengibaskan tangannya, memberi isyarat agar Tyaz masuk ke ruangan itu.
“Baik, Pangeran.” Tyaz mengangguk, dia melangkahkan kakinya masuk. Segera duduk saat Blue—si penyihir—mempersilahkannya duduk di sebelah pangeran yang berhadapan langsung dengannya.
Penyihir itu terlihat berumur sekitar tujuh belasan, atau lebih tua, Tyaz tidak tahu, menurut cerita yang dia baca, penyihir bisa membuat dirinya tetap awet muda. Mungkin tidak ada salahnya dia dipanggil dengan nama ‘Blue’. Dia memakai baju biru dongker, mata bulat berwarna biru laut, dengan rambut lurus sepunggung berwarna biru tua yang digerai secara alami—Tyaz yakin penyihir itu mewarnai rambutnya, karena tidak pernah Tyaz melihat orang berambut biru secara alami kalau tidak diwarnai.
Tunggu dulu. Ada yang kurang rasanya. Yang Tyaz ingat, penyihir biasanya memakai tudung, lalu ke mana tudung penyihir ini?
Tyaz mengedarkan pandangannya. Mencari tudung penyihir itu, yang sebenarnya tidak ada gunanya sama sekali.
“Apa kau mencari tudungku, Tyaz? Barang itu tidak ada di ruang kerjaku, tapi ada di kamarku.” Tiba-tiba Blue bersuara, membuat Tyaz tersentak.
“Bagaimana kautahu? Dan kurasa, aku belum menyebutkan namaku.” Tyaz menatap balik iris biru Blue.
“Bahkan dalam pikiranmu, kau sangat berisik. Kau sama seperti orang yang sedang makan camilan di depanku,” ujarnya dengan wajah datar.
Hydo menelan camilannya dengan paksa. Melempar tatapan datar pada Blue yang kini terkekeh. Sedangkan Tyaz masih sibuk mencerna ucapan Blue.
Jadi, dia bisa membaca pikiran orang lain? Keren, andai aku bisa seperti itu, Tyaz membatin.
“Mempunyai kemampuan membaca pikiran orang tidaklah sekeren yang kaubayangkan, Tyaz. Kekuatan itu semakin membuatku menderita. Semakin tinggi kekuatan yang dimiliki, maka semakin tinggi pula tanggung jawabnya.” Blue tiba-tiba menyela.
“Aku tahu,” sahut Hydo, merasa jengah.
“Bisa aku mulai sekarang, Biru?” tanya Hydo. Perempuan banyak bicara! Lanjutnya dalam hati.