Malam datang menjemput mentari. Sebelum Tyaz bersiap-siap untuk tidur, Blue terus-terusan membujuknya agar pemuda itu memilih opsi pertama—tidak mengembalikan jiwa Pangeran Hydo. Namun Tyaz tetaplah Tyaz dengan keputusannya yang bulat, tidak ada yang bisa mengubah keputusannya.
“Apa kau akan mengunakan bunga itu sekarang, Tyaz?” tanya Blue, dia berdiri di ambang pintu setelah setengah jam lalu berusaha membujuk Tyaz, tetapi gagal.
Tyaz mengangkat bahu. “Kalau tidak sekarang kapan lagi, besok malam aku tidak bisa tidur lagi.”
Blue mengangguk, menghela napas. “Aku akan mematikan lilinnya agar kau bisa tidur.”
Blue mengangkat tangannya, hendak mematikan lilin menggunakan sihirnya, tapi Tyaz buru-buru meneriakinya. “Tidak Blue! Apa kau lupa? Aku memiliki ketakutan terhadap gelap.”
Blue menepuk kepalanya. “Aku lupa, kukira rasa takutmu itu sudah hilang. Baiklah, selamat malam, Tyaz.”
Setelah mengucapkan selamat malam pada Tyaz, Blue menutup pintu dengan hati-hati, gadis itu tidak langsung kembali ke kamarnya, dia mengunjungi perpustakaan istana, guna mencari inspirasi yang bisa menjernihkan kepalanya, mungkin saja dia menemukan punya cara agar Tyaz bisa tetap hidup setelah jiwanya hanya tersisa setengah.
Di kamarnya, Tyaz memandangi mawar biru yang dipegangnya. Bunga itu tampak menawan sekaligus menakutkan, berdiri dengan kokoh seakan menantang, siapapun yang melihatnya akan terpikat, begitupun dengan Tyaz.
Tyaz mendekatkan wajahnya dengan bunga itu, dia lantas menghirup aroma bunga mawar itu. Tidak seperti bunga mawar pada umumnya, bunga mawar biru itu mengandung aroma menenangkan dan membuat candu, di menit berikutnya, Tyaz sudah tertidur lelap.
***
Tyaz pikir dia akan bermimpi seperti biasanya, bunga tidur yang mengendalikan mimpinya, tetapi kali ini berbeda. Tyaz dalam mimpi itu dia sadar kalau bermimpi, dia lebih seperti pergi ke masa lalu ketimbang sekadar bermimpi.
Tyaz berdiri di ruang tamu sebuah rumah yang entah kenapa tampak familier. Tyaz mengedarkan pandangannya, rumah itu sepi walau malam baru saja tiba, furniture rumah itu tampak minimalis dengan warna putih di dindingnya.
“Papa! Mama! Aku ingin memperkenalkan teman-temanku!” teriak seorang anak kecil dari tangga lantai dua, lantas dia berlari-lari kecil menuruni tangga.
Tyaz berjalan mendekati anak tangga, dia terkejut melihat anak kecil itu. Anak kecil itu ... Tyaz saat berumur tujuh tahun. Tyaz ingat betul, malam itu merupakan malam terakhirnya bisa bersama kedua orang tuanya, lalu seminggu setelahnya Tyaz tinggal di panti asuhan.
Tyaz kecil berlari menuruni tangga, dan yang membuat Tyaz terkejut adalah ... Tyaz kecil bisa menembus tubuhnya seakan-akan tubuh pemuda itu hanyalah cahaya proyektor yang tidak berwujud.
“Ada apa, Sayang?”
Suara seorang pria terdengar di sebelah kanan Tyaz berdiri, dia menoleh ke sumber suara, di sana terlihat seorang pria yang memeluk Tyaz kecil, di sebelahnya pria itu ada seorang wanita berambut sebahu yang menatap lembut Tyaz kecil setelah pria itu melepas dekapannya.
Seketika hati Tyaz terasa teriris, tiba-tiba saja matanya terasa perih, dia memandang kedua orang itu, orang yang tidak lain adalah orang yang melahirkannya. Tidak terasa setetes air bening meluncur melewati pipi pemuda itu. Tyaz sangat merindukan orang tuanya, dia benar-benar rindu. Luka karena kehilangan orang tuanya yang selama ini dicoba untuk dilupakannya kini terbuka lagi.
Tyaz mendekati orang tuanya yang sedang berbincang-bincang dengan Tyaz kecil, orang tua Tyaz berdiri dengan lutut sebagai tumpuhan untuk menyamakan tingginya dengan Tyaz.
“Siapa teman-teman barumu itu? Tunjukkan pada Mama,” ucap Ibu Tyaz.
Pemuda itu benar-benar tidak bisa menahan air matanya untuk menetes, dia merindukan suara ibunya yang lembut. Tyaz berusaha memeluk ibunya, tetapi tangannya melewati tubuh ibunya seolah-olah ibunya hanya udara kosong. Tyaz lalu mencoba memeluk ayahnya, tetapi lagi-lagi tubuh pemuda itu menembus ayahnya.
“Kenapa aku tidak bisa memeluk kalian? Tolong, sekali ini saja, biarkan aku memeluk kalian, Tyaz-mu ini merindukan kalian. Aku mohon,” ucap Tyaz lirih, walau dia tahu orang tuanya tidak bisa mendengarkannya.
“Aku punya tiga teman baru.” Tyaz kecil menunjukkan tiga jarinya di depan orang tuanya. “Namanya Blue, Putih, dan Tessa.”
Tyaz membelalakkan matanya. Itu artinya, dia pernah bertemu Putih sebelumnya? Dan juga ... sudah mengenal Tessa sejak kecil? Tapi bagaimana dia tidak ingat?
Wajah orang tua Tyaz seketika berubah, kentara sekali wajah mereka khawatir. Ibu Tyaz mengelus kepala Tyaz kecil, tersenyum tipis.
“Tyaz sekarang tidur dulu ya, besok Tyaz masuk sekolah baru, ‘kan? Tyaz sekarang sudah SD, Tyaz sudah besar sekarang, Tyaz bisa menjaga dirinya sendiri,” ucap ibu Tyaz dengan sebuah senyum yang tampak dipaksakan.
“Jangan bilang begitu, kita akan terus bersama Tyaz.” Ayah Tyaz membalas ucapan ibu Tyaz dengan nada tidak suka.
“Tapi dia akan ke sini dan menghabisi kita,” ujar ibu Tyaz dengan penekanan di setiap katanya.
“Ada apa? Apa Mama sama Papa akan meninggalkan Tyaz sendirian?” tanya Tyaz kecil dengan wajah memelas.
Ibu Tyaz menggeleng keras. “Kami tidak akan pernah meninggalkanmu, kami selalu ada di sisimu.”
Ibu Tyaz memeluk Tyaz kecil, juga ayahnya sebelum Tyaz naik ke lantai dua dan menuju kamarnya.
Pemuda itu terdiam di tempatnya, bergumam pelan, “Apa Papa dan Mama sudah mengetahui kalau mereka akan meninggalkanku?”
Di dalam kamar orang tua Tyaz, mereka sibuk membicarakan sesuatu yang Tyaz tangkap maknanya secara garis besar, tentang sebuah surat wasiat, lantas ayah Tyaz menghubungi seseorang lewat telepon.
Tyaz tidak tahu harus melakukan apa, dia ingat betul saat kecil, beberapa jam lagi ada orang yang akan datang dan menyerang keluarganya, tetapi Tyaz tidak bisa mengubah masa lalu. Dia tidak bisa apa-apa, dia hanya penonton dari masa depan.
“Aku bisa merasakannya, dia akan datang, kau harus bersembunyi Tessa.”
Tyaz mendengar sebuah suara dari ujung tangga lantai dua, di sana ada Blue dengan wajah yang tidak berubah, Tessa kecil, dan seorang wanita memakai gaun serba putih yang tadi berbicara pada Tessa kecil.
Tessa kecil mengangguk, Blue menyihir Tessa kecil yang mana membuat sosok Tessa menghilang, Tyaz tahu sihir itu, teleportasi. Beberapa menit setelah Tessa kecil berteleportasi, pintu rumah tiba-tiba didobrak seseorang dari luar, jumlah mereka lebih dari sepuluh orang. Tyaz yang penasaran mencoba mendekati mereka, dia melihat Allena berdiri dengan pongah di sana sebagai pemimpin rombongan.
Tyaz ingin terbangun dari mimpi ini, dia sudah tahu kelanjutannya, rombongan itu akan mencari Tyaz kecil dan mereka membunuh orang tua Tyaz lalu Blue dan Putih menyembunyikan Tyaz kecil—yang mana membuatnya selamat dari Allena.
Tyaz menutup matanya, dia tidak mau melihat kematian orang tuanya untuk kedua kalinya. “Aku tidak mau!”
Saat Tyaz membuka matanya, pemandangan yang semula rumah masa kecilnya kini berubah menjadi padang rumput yang berada beberapa kilometer di belakang Istana Kegelapan—Tyaz menyimpulkan demikian karena dia melihat Istana Kegelapan jauh di belakangnya.
Ada sekitar lima orang di depan Tyaz, jarak mereka dengan Tyaz sekitar satu meter, Tyaz bisa melihat dan mendengar dengan jelas siapa dan apa yang mereka bahas. Kelima orang itu adalah Prajurit Kegelapan yang diceritakan Blue tempo hari.
Ketua Xexe di sana terlihat geram, juga wajah ketiga orang lainnya, hanya Harro saja yang terlihat paling santai dan terkesan tidak terlalu memperhatikan apapun yang mereka bahas. Tyaz mendekat guna mendengar percakapan mereka.
“Aku tidak percaya lagi penyihir kerajaan itu! Dia lebih dari seorang pembunuh daripada orang kepercayaan Kerajaan Kegelapan!” Blackie berseru marah, tangannya terkepal.
Penyihir kerajaan? Blue? Pembunuh? batin Tyaz.
“Aku tidak mengerti apa yang kalian katakan? Apa yang dilakukan Blue hingga kalian semua membencinya?” tanya Harro setelah sekian lama terdiam.
Tyaz melihat Harro sekilas, Harro yang itu lebih pendek dari Tyaz, yang mana mengartikan Harro yang berada di sini mungkin saat masih SMP, karena tinggi Harro sekarang mendahului Tyaz—yang mana membuat pemuda itu iri karena dia akan tampak pendek kalau berdiri di samping Harro.
“Kau tidak tahu apa yang terjadi kemarin? Memangnya kau ke mana? Warga Kota Tyrex sudah tahu,” Zam menyahut.
“Aku tidak tahu apa-apa, Paman Zam. Akhir-akhir ini aku berada di Bumi, aku jarang ke Kota Tyrex,” jawab Harro sembari menerawang langit, seolah-olah Bumi dapat terlihat dari sana.