Janji terucap untuk ditepati, bukan untuk diingkari, apalagi sebagai bualan sesaat.
***
Tyaz terdiam menatap gadis bertudung hitam yang mengaku-ngaku sebagai Tessa itu. Tyaz mengernyitkan matanya tatkala langit berwarna jingga mengganggu pandangannya terhadap gadis itu. Gadis itu wajahnya tampak khawatir, mata hijaunya menatap Tyaz intens dan rambut hazel itu meningatkan Tyaz akan sesuatu.
“Kau ... benar-benar Tessa?” tanya Tyaz setelah memastikan kalau gadis itu benar-benar Tessa yang dikenalnya selama ini.
“Memangnya siapa lagi yang bernama Tessa?” Gadis itu menyunggingkan senyuman tipis.
Tyaz berdiri, menarik tangan Tessa, membawanya dalam dekapannya. Dia mengelus pelan rambut hazel gadis itu, yang mana mengingatkannya pada es krim kesukaannya.
Tessa melototkan matanya, dia tidak memikirkan Tyaz akan memeluknya seperti ini. Perlahan, gadis itu membalas pelukan Tyaz, dia mengelus pelan punggung Tyaz.
“Aku merindukanmu,” bisik Tyaz di dekat telinga Tessa.
Mereka menarik diri.
“Tapi aku tidak merindukanmu, Tyaz,” balas Tessa sembari terkekeh.
“Aku yakin kau belum mati selama ini. Tapi kenapa kau tidak pernah menemuiku? Apa karena aku tidak mengingatmu sehingga kau juga melupakanku? Seharusnya kau membantuku agar aku bisa mengingatmu. Dan ke mana saja kau selama beberapa tahun ini menghilang?” tanya Tyaz dengan ekspresi serius, tidak meladeni gurauan Tessa.
Tessa tercekat, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain agar dia tidak melihat wajah Tyaz. “Aku telah melakukan kesalahan selama ini, aku tidak mematuhi tugas yang diberikan Ibuku, jadi dia menghukumku.”
“Ibumu? Siapa ibumu? Dan bagaimana juga kau bisa di sini?”
Tessa tidak menjawab, dia tidak mempunyai keberanian untuk menatap mata Tyaz.
Tyaz menghela napas, dia meraih bahu Tessa. “Tessa, aku berbicara padamu, tatap mataku! Ayo kita duduk dulu agar kau merasa lebih baik, sepertinya kau sakit, wajahmu pucat.”
Tessa menurut saat Tyaz menyuruhnya duduk.
“Maafkan aku, Tyaz. Selama ini aku mengkhianatimu, aku bukan orang baik, aku jahat. Maafkan aku.”
Tyaz mengernyitkan dahi. “Kenapa kau bilang begitu? Kau tidak jahat.”
“Tidak, Tyaz. Aku selama ini membohongimu, bukankah itu jahat?” Mata Tessa berair.
Tyaz menggeleng. “Tidak kalau kau mau jujur. Apa kau mau menceritakan semua yang selama ini kau sembunyikan padaku, Tessa?”
Tessa mengangguk. “Tujuanku ke sini untuk itu. Aku bukan manusia, Tyaz, aku sama seperti Blue, Allena, Putih dan penyihir lainnya. Aku seorang penyihir yang selama ini berusaha membunuhmu, dan Allena adalah ibuku.”
Tyaz terdiam, dia memandang rumput dengan tatapan kosong. Tyaz tidak tahu harus mengatakan apa lagi. “Membunuhku?”
“Iya, tapi aku sungguh tidak ingin melakukannya, ibuku yang menyuruhku, kalau tidak dia akan menghabisiku. Aku akan menceritakannya dari awal agar tidak ada kesalahpahaman di sini,” ujar Tessa.
“Saat umurmu tujuh tahun, aku, Blue dan Putih sering mengunjungimu tanpa sepengetahuan Allena, sejak saat itu kita menjadi dekat. Lalu suatu hari, Allena datang berniat mencarimu, namun dia malah membunuh orang tuamu karena kesal tidak menemukanmu, saat itu kau disembunyikan Blue dan Putih. Allena tidak sengaja melihatku, dia memarahiku dan hampir membunuhku karena berpikir aku bersekutu dengan lawan.”
“Dia jahat sekali,” gumam Tyaz.
“Maka dari itu aku tidak menyukainya, dia sangat tega,” balas Tessa.
“Aku saat itu terluka parah, mungkin saja mati kalau Putih tidak memberikan seluruh kekuatannya padaku. Namun aku menyesal karena dengan hilangnya kekuatan Putih, hilang juga eksistensinya yang menyebabkan dia mati. Lalu aku meminta maaf pada Allena, dia memaafkanku dan menerimaku kembali dengan syarat aku harus mendekatimu dan membunuhmu. Tapi seiring berjalannya waktu, aku sadar, aku tidak bisa mengikuti kemauannya terus-menerus, dan aku memutuskan untuk meniggalkanmu, tapi aku tidak tahu bagaimana kau bisa di sini.”
“Bukankah kau memiliki kekuatan Putih selaku penyihir terkuat? Kenapa kau tidak melawannya?” tanya Tyaz.
“Aku saat itu tidak bisa mengendalikan kekuatan itu yang malah akan membunuh diriku sendiri, lagi pula dia ibuku, walaupun dia jahat.” Tessa menghela napas berat.
“Sekarang aku sudah bisa mengendalikan kekuatan itu, aku bisa membawamu kembali ke Bumi, jadi jangan lakukan yang dikatakan Blue. Tidak Tyaz, kau bisa mati,” ujar Tessa serius.
“Tidak, Tessa. Janji adalah janji, aku jarus menepatinya. Dan sesuatu yang dipinjam, harus dikembalikan. Itulah yang diajarkan papaku.” Tyaz bersikeras dengan keputusannya.
“Kau tidak tahu apa yang direncanakan Allena? Dia ingin menyedot kekuatan Soul Holy, kalian bertiga, kau, Pangeran Hydo, dan Harro. Dia telah mengambil masing-masing jiwamu dan Pangeran, yang bisa dihitung satu orang, lalu Harro sudah menjadi sekutunya. Kalau kau mengembalikan jiwamu pada Pangeran, kau akan mati dan menyia-nyiakan setengah jiwamu, lalu Pangeran Hydo akan kembali walau dengan setengah jiwa, dan dia tidak akan bisa mengalahkan Allena. Pada akhirnya dia yang akan menang.” Tessa menjelaskan dengan semangat yang mengebu-ngebu seolah-olah dia mengikuti olimpiade.