“Jika menyakitiku bisa membuatmu tenang, aku rela kau mencabik-cabik tubuhku asalkan kau bisa tenang dan memaafkanku.”
***
Hydo membuka matanya perlahan, pandangannya mengabur dan tidak tampak jelas. Dia melihat sekeliling, yang dilihatnya hanya langit-langit menara dan suara seorang gadis menangis yang kini mendominasi pendengaran Hydo.
Hydo mencoba duduk, entah kenapa tubuhnya terasa sakit semua, seperti orang yang tidak bangun-bangun dari tidur yang menyebabkan keram dan keseleo. Pandangannya masih belum terlalu fokus, dia sempat linglung selama beberapa saat.
Pemuda itu turun dari ranjang, hampir tumbang karena keseimbangannya goyah.
“Biru? Kau kah itu?” tanya Hydo dengan suara serak.
Blue yang saat itu menunduk dengan tangan menutupi mukanya sembari seseungukan refleks mengangkat kepala karena mendengar panggilan khusus itu. Blue tidak lagi seseunggukan, dia menoleh pada pemuda yang kini berusaha berdiri di tepi ranjang, tangan pemuda itu memegangi tepi ranjang yang digunakan untuk menopang tubuhnya.
Blue berlari untuk menemui Hydo, gadis itu mendekap Hydo erat, melepas semua kerinduan yang dia simpan sendiri selama bertahun-tahun. Air mata gadis itu mengalir tatkala dia mencium aroma tubuh khas Hydo, Blue mengelus pelan surai kelabu Hydo. Dia benar-benar merindukan semua tentang Hydo, senyumnya, candanya juga sifat kekanak-kanakannya.
“Aku sulit bernapas,” ucap Hydo dengan suara lemah.
Blue segera melepas dekapannya. “Maafkan saya, Pangeran. Anda sebaiknya berbaring dulu, saya akan mengobati luka Anda.”
Hydo menurut saat Blue menggiringnya kembali ke ranjang, dan menyuruhnya berbaring. Blue merapalkan sebuah mantra, lantas tangan kecilnya itu di letakkan di dada kiri Hydo, tepat di mana jantungnya berada. Cahaya biru berpendar dari tangan Blue, dia kini bisa merasakan detak jantung pangeran yang kembali normal.
Blue menyentuh luka di wajah Hydo yang tampak mengering, dia memfokuskan sihirnya, perlahan sel-sel yang mati meregenerasi menjadi sel baru, jaringan tubuh yang rusak segera digantikan yang baru.
“Bagaimana perasaan Anda, Pangeran?” tanya Blue setelah selesai mengobati luka Hydo yang lainnya.
“Sudah kubilang berapa kali, Biru, jangan berbicara terlalu formal, aku sudah menganggapmu sebagai kakakku sendiri,” ujar Hydo dengan wajah cemberut, yang menurut Blue bukannya tampak seperti orang yang merajuk, melainkan tampak lucu hingga membuat Blue ingin mencubit pipi pemuda itu kalau saja ia tidak bisa menahan dirinya.
“Saya be—” Blue mendapat pelototan dari Hydo. “Aku belum terbiasa, setelah kepergianmu aku bahkan sedikit mulai lupa bagaimana kebiasaanmu. Maafkan aku.”
Hydo bangun dari posisi berbaring, tubuhnya tidak lagi terasa sakit seperti tadi. “Aku yang salah karena terlalu lemah, andai saja aku kuat untuk menghabisi penyihir itu, tidak mungkin banyak menimbulkan korban seperti Tyaz. Lalu, kekuatanku ... aku masih belum bisa mengendalikannya, aku takut bila menjadi monster dan menyakitimu.”
Blue mengelus pelan surai Hydo. “Kita akan berlatih, aku akan membantumu.”
Hydo tersenyum tipis, mengangguk lantas dia teringat sesuatu. “Bagaimana keadaan Tyaz? apa dia baik-baik saja dengan kehidupannya di Bumi?”
Blue terdiam, dia tidak bisa berkata apa-apa selain menundukkan kepala dengan wajah penuh penyesalan.
“Blue? Bagaimana keadaan Tyaz?” Hydo mengulang pertanyaannya, kali ini dengan suara tegas—yang mana suara itu jarang Blue dengar mengingat dia tidak pernah serius dalam keadaan segenting apapun.
“Dia ... sudah tidak ada,” jawab Blue dengan berat hati.
“Tidak ... ada? Apa maksudmu? Di mana Tyaz sekarang, Blue?” Hydo memegang bahu Blue, mengguncang bahu gadis itu hingga Blue mau mengangkat kepalanya.
Hydo menatap intens iris biru laut gadis itu, mata itu menyorotkan kesedihan yang dalam. Mata Blue tiba-tiba berair, wajahnya tampak kusut seperti banyak pikiran, suara tangis perlahan terdengar dari gadis itu. Apa ini? Hydo tidak pernah melihat Blue serapuh ini, dia selalu tegar dalam keadaan apapun, apakah telah terjadi sesutu yang besar saat Hydo tertidur belakangan ini?
“Blue, lihat aku dan katakan apa yang terjadi selama ini, dan di mana, Tyaz?” Hydo memandang wajah Blue.
Blue masih sesengukan saat dia menunjuk ranjang sebelah yang tadi ditiduri Hydo.