Selasa, Mei 2002
Desa Chiragpur sedang berduka. Sang Kepala Kampung yang terhormat, Baba Siraj Din, tengah meregang nyawa. Begitu selesai azan, yang dikumandangkan dari masjid, qazi atau hakim, sang kadi, membuat satu permohonan emosional pada segenap pen duduk desa, bagi melaksanakan shalat khusus bagi keberangkatan jiwa si lelaki tua itu.
Di dalam rumah putihnya yang besar, Baba Siraj Din terbaring di atas ranjangnya.
“Thalak! Kuceraikan kau!”
Kata-kata mengerikan itu menggema dari bertahun-tahun yang lampau.
Bibir semerah darah itu mengerut membentuk sekulum senyum, saat perempuan itu mengintipnya dari balik kacamata hitamnya rambutnya yang terurai panjang jatuh dengan lembut di pinggulnya. Satu tungkai kaki yang berbalut sandal hitam nan elok melangkah keluar dengan penuh percaya diri. Tungkai yang kedua tampak lunglai, mimik galak yang menunjukkan ketidaksukaan di wajah lelaki itu telah melenyapkan senyum sang perempuan.
“Assalamu‘alaikum, Baba Jee!” perempuan itu menyapa de ngan santun.
Dia adalah seorang asing di desa “milik” lelaki itu, dan dia sama sekali tak berniat untuk menutupi kepalanya di hadapan si lelaki.
Siraj Din menghentikan penghormatan yang dilakukan perempuan itu dan dengan sikap acuh tak acuh mengacungkan tangannya, meminta perempuan itu melangkah masuk. Perempuan itu tetap berdiri di samping mobilnya, dia terpana melihat kekasaran si lelaki. Siraj Din menolehkan kepalanya yang sudah disemir henna, dan melemparkan sorot bola mata hijaunya ke arah tangan telanjang si perempuan dan tirai tebal rambutnya yang menjurai indah di atas bahu kanannya. Sambil dengan keras mengetukkan tongkat jalannya yang terbuat dari gading ke tanah, Siraj Din tanpa ampun berlalu pergi.
“Aba Jan!” suara semanis madu menantu perempuannya menyeruak, menariknya kembali ke dunianya.
Kepala lelaki yang tengah sekarat itu tersentak ke atas dan mendarat di bagian bantal yang dingin segar, dia mengabaikan suara Shahzada yang memanggil-manggil, dia malah kembali ke gulungan kenangan yang berputar menjauh di balik kelopak mata tuanya yang keriput.
Dengan cadar-luka yang terlilit erat mengelilingi bahunya dan kepala tertunduk, perempuan itu melirik ke atas dari balik tepian kerudungnya. Matanya seperti sepasang mata rusa yang terluka. Memohon dan pasrah.
“Aku menceraikan kau!” kata-kata itu jatuh di atas kesenyap an yang hening.
Dedaunan yang terpana di atas pohon di halaman, seketika berhenti gemerisiknya. Embusan angin sore yang hangat meng ambang. Para penduduk desa menahan napas.
“Aku menceraikan kau! Aku menceraikan kau! Aku mencerai kan kau!”
Tiga talak yang mematikan itu menghunjam jantungnya. “Aba Jan!” suara Shahzada yang memburu terdengar lagi, mengoyak serpihan kenangan untuk masuk ke kekacauan yang terjadi di belakang pikirannya. Tangan Shahzada yang dingin kini memijit-mijit kening Siraj Din, membawanya kembali ke masa kini.
Baba Siraj Din membuka matanya lebar-lebar, terbelalak. Sorot kehijauan yang sedingin es itu menyala saat bertemu kilauan cokelat nan hangat dari sepasang mata Shahzada; tanpa rasa takut, dan memendarkan kesetiaan kasih sayang pada lelaki tua itu. Lalu, secara ajaib, sorot mata Siraj Din pun melembut. Shahzada-lah, menantunya tersayang, yang membuatnya demikian. Lidah nya menjulur keluar dari mulutnya, membasahi bibirnya yang kering.
“Shahzada, putriku!” ratapnya, seraya menjulurkan lehernya naik, untuk berusaha berbicara sekali lagi. “Aku sedang sekarat!” dengan lemah tangannya terjulur meraih lengan Shahzada. “De ngarkan aku. Panggil dia! Dia!”