Typhoon

Mizan Publishing
Chapter #2

2

Naimat Bibi sudah selesai menggantung pakaian-pakaian Zarri Bano. Dia lalu meninggalkannya agar kering di atas atap halaman, dan mengintip dari sela-sela pagar besi ke arah ladang-ladang pen­ duduk di bawahnya. Matanya mengamati suasana dan kemudi­an­ matanya tertambat di sebuah mobil yang sedang merambat­ perlahan sepanjang jalanan sempit yang berkelok-kelok ke arah desa. Dia tak mengenali mobil itu. Mobil itu bukan milik siapa pun yang berada di Chiragpur. Itu pastilah salah satu tamu yang menuju ke hawali Baba Siraj Din. Bagaimana jika ternyata itu adalah si perempuan­ yang dia pikirkan?

  “Kulsoom Jee!” pekiknya bersemangat, tergopoh-gopoh me­ nuruni tangga menuju halaman tengah. Di tempat itu, Kulsoom sedang­ sibuk bermain dengan bayi laki-laki Zarri Bano, Adam, di dalam keranjang buaiannya di bawah keteduhan beranda.

  “Ada apa?” Kulsoom mendongak penuh perhatian, tangannya masih memegangi kerincingan bayi tepat di depan wajah mungil si bayi. Dia bersusah payah berusaha menidurkan bayi itu tangannya­ sudah sakit dan tak bisa menggendongnya ke mana-mana untuk satu jam berikutnya. Seandainya saja bayi itu mau untuk tidur siang sebentar saja, dia mungkin bisa menyelinap ke­luar untuk me­nengok Sardara Jee, perempuan penjual-susu desa mereka.

  “Menurutku dia ada di sini!” Naimat Bibi berbisik dengan nada serius. Perlahan, Kulsoom Bibi mengangkat bayi itu dari buaiannya.

“Aku akan mengembalikan anak ini pada Sahiba Zarri Bano. Aku tak bisa ke mana-mana bersama anak ini. Pergi dan awasilah, aku akan menyusul naik dalam beberapa menit.”

***

 Mobil yang sudah membuat Naimat Bibi terbirit-birit menyusuli sahabatnya itu sedang melaju perlahan sepanjang jalan, meng­­ embus­kan­ gumpalan debu yang bergelung-gelung tipis seiring lajunya­. Si pengemudi, wajahnya yang datar menoleh mengamati penumpang perempuannya. Tapi, perempuan itu sepertinya benar-benar tak peduli. Mereka kini melintasi dinding ladang tebu yang menjulang tinggi di kedua sisi jalan. Di baliknya, nyaris ter­ sembunyi dari pandangan, terletak Desa Chiragpur, dengan sebelas jalan sempitnya, berkelok-kelok dan sambung-menyambung. Sekumpul­­an gedung dan rumah beraneka bentuk dan ukuran berjajar­ membelah­ desa itu. Gedung-gedung tinggi, dengan marmernya yang mencolok­ elok dan fasad-fasad pualam putih, berbaur dengan serasi bersama rumah-rumah orang sederhana yang terbuat dari susunan bata dan lumpur yang dicetak.

  “Haroon, berhentilah,” perempuan itu memberi perintah dengan nada lembut. Kata-kata itu mengambang di antara me­ reka itu adalah kata-kata pertama yang terlontar selama tiga jam perjalanan bermobil itu. Efeknya langsung terasa. Si penge­mudi­ serta-merta memahaminya, dan mobil itu melambat sampai benar-benar berhenti.

  Wajahnya datar, dia menanti, bertanya-tanya dalam hati apa yang akan dikatakan perempuan itu. Diam-diam, sang perempuan membuka pintu mobil dan menjejakkan kaki di atas jalanan ber­ debu. Dia tidak menoleh ke belakang, tapi melangkah maju me­ nuju pematang antara ladang mustard dengan hamparan kuning­ nya yang berayun-ayun lembut dan ladang kubis.

Si pengemudi mengamatinya dengan wajah muram dari balik kaca depan mobil. Dia sudah bisa menduga tujuan perempuan itu. Ketika sang penumpang mencapai titik itu, dia menekankan kepala­­ nya ke roda setir dan mengatupkan matanya dengan putus asa.

Lihat selengkapnya