Typhoon

Mizan Publishing
Chapter #3

Bagian Dua - 3

Ini mataku, itu hatiku

penderitaanku tak jua terbebaskan.

Hati ini memendam derita tak terungkap;

mata ini mencucurkan air mata nestapa nan nyata.

 

Mirza Asadullah Khan Ghalib (1797-1869) India Petikan dari The Persian Ghazals of Ghalib (Masyarakat Kerja Sama Kepenulisan Pakistan, 1997)

 

Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ralph Russell.

***

Mei, 1982

 

Setengah mengantuk, mata Gulshan terbuka dan mengatup lagi, merasakan gerakan di sampingnya di atas ranjang itu. Seber­kas­ cahaya bulan menelusup masuk lewat dua jendela yang tepiannya hampir menyentuh langit-langit, memantulkan bayangan Haroon di dinding saat lelaki itu bangkit.

  Dia menunduk memandangi sosok istrinya yang terbaring di ranjang dengan sorot mata penuh kebimbangan. Lalu, dengan penuh kepastian dia mengancingkan kerah baju tidurnya, semen­­ tara kakinya mencari-cari sandalnya di atas lantai semen itu. Begitu menemukan sandalnya, Haroon memungutnya, dan melangkah bertelanjang kaki melintasi kamar tidur itu. Sesampainya di pintu, dia membukanya dengan amat perlahan.

  Di luar, di bawah temaramnya sinar rembulan beranda, Haroon melempar tatapan sembunyi-sembunyi ke pintu kamar tidur ibu mertuanya yang tertutup. Sambil memasangkan sandal di kedua kakinya, dia melangkah amat perlahan menyeberangi lapangan kecil di halaman. Sambil menyisir rambutnya dengan jemarinya, Haroon diam-diam menoleh ke belakang ke arah dua pintu kamar yang tertutup itu.

  Di dalam kamar tidur, Gulshan bergerak-gerak, tangannya terjulur­ menggapai bagian tempat tidur yang hangat dan kosong di sebelahnya. Dia mendengar bunyi klik gerendel pintu di luar.

Kini, dia sepenuhnya terjaga, duduk di atas ranjangnya dan menatap nanar bayangannya sendiri yang terpantul di dinding.

 “Di manakah Haroon?” tanya Gulshan di dalam kamar yang sunyi senyap itu. “Ke manakah suamiku mungkin pergi di malam selarut ini?”

 Seketika dia merasakan hawa dingin menggigil merambati tubuhnya, ketika kakinya menyentuh permukaan lantai yang dingin. Kakinya menggapai-gapai dalam gelap ke bawah ranjang­ nya, jari-jari kakinya yang besar mencari-cari sandal kulitnya. Setelah­ menemukan salah satunya, dia bergegas mencari pasang­ annya­ sambil tangannya menyambar kerudung wolnya dari kursi di samping ranjangnya. Dengan cepat Gulshan melilitkannya ke sekeliling­ bahunya, lalu melangkah ke luar menuju beranda.

  Setelah bergegas melintasi halaman kecil itu, Gulshan men­julur­ kan tangannya ke pintu kayu di halaman pintu itu sudah dibiarkan terbuka sedikit. Gulshan keluar, menutup pintu pagar di belakang­­ nya, dan perlahan-lahan menuruni dua anak tangga dari semen, menjejakkan­ kaki ke jalan sempit yang terbuat dari batu, jalan desa itu.

  “Haroon!” serunya pelan dia tak ingin membangunkan seisi kampung. Kulsoom Bibi tidak bisa tidur terlalu nyenyak dan juga memiliki kecenderungan untuk bangun dini hari.

  Desa itu terbungkus keheningan yang dingin membekukan saat sedang tertidur, bahkan anjing-anjing juga tak bersuara. Gul­ shan mencengkeram erat tepian kerudung yang menutupi kepala­ dan dadanya, lalu mendongak menatap dinding bata setinggi hampir­ dua meter yang menutupi halaman tetangganya. Dia ter­ perangah melihat keping-keping pecahan gelas yang mencuat dari dinding itu untuk mencegah tamu tak diundang. Apa yang sedang dia laku­kan­ di sini, berdiri sendirian di tengah kegelapan, pada tengah malam pula? Ke manakah perginya sang suami Haroon? Apa yang terjadi padanya?

Dengan panik, dia mengangkat ujung celana panjangnya agar tak terinjak kakinya sendiri di atas jalan batu itu, dan Gulshan pun mulai berlari mencari suaminya. Dengan berlari zig-zag di jalan, secara naluriah dia menghindari genangan air kotor di jalan, karena bebatuan ataupun bata jalan itu sudah terlepas dan mencipta­ lu­ bang-lubang jalanan.

  Kini, Gulshan terengah-engah kelelahan, dia menjeritkan nama suaminya sekali lagi, “Haroon!” sambil terus berlari men­ carinya melewati jalanan berkelok-kelok menyesatkan. Satu ruas jalan terakhir membawanya ke luar desa, dan berakhir di sebuah ruangan­ terbuka yang luas, di dekat ladang desa. Gulshan berdiri sendirian di atas seruas jalan kecil berdebu. Suaminya entah di mana tak terlihat­. Ladang-ladang yang gelap, yang berisi lobak dan sayur-mayur lainnya, terentang di sekelilingnya, lalu menghilang menjadi kaki langit yang dipenuhi bintang.

  Gulshan menatap cemas ke bawah, dan segera menjauh dari pinggiran jalan yang dipenuhi rumput. Ular dikabarkan sering bersarang di tempat seperti ini pada malam hari, bergelung di bawah kerimbunan rumput kering dan akar-akaran pohon tebu yang kukuh.

  Dengan gugup, dia menarik kerudungnya lebih erat membelit kepala dan tubuhnya, mencengkeram erat tepiannya yang ber­ bordir indah ke sekeliling wajahnya untuk menutupi telinganya yang kedinginan. Udara malam mengembus menerjang sepasang kakinya yang berbalut shalwar katun. Kain katun itu tidak mem­beri perlindungan dari embusan angin sedingin es. Gulshan menggigil,­ dia mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

  “Haroon pastilah sudah berjalan lebih jauh dari jalan ini tetapi itu artinya dia keluar dari desa ini!” Gulshan meneruskan lari­ nya menyusuri jalan itu, meski tersandung-sandung kerikil di kegelapan. “Aku harus mengikutinya,” ujarnya terengah-engah.

Jalan itu membelok tajam ke sisi kanan, ke arah sumur tua desa itu. Sebatang pohon dewasa yang menjulang tinggi berdiri tegak di tengah persimpangan jalan, dan Gulshan bersandar ke batang pohon itu, berusaha untuk mengembalikan irama napas­ nya. Tiba-tiba saja seberkas sinar bulan menyingkapkan bayangan suaminya sedang berjalan dengan langkah pasti menuju sumur di samping sebatang pohon banyan tua, yang akar-akarnya yang kering menjalar ke mana-mana hingga ke jalanan dan menghilang ke dasar bumi di dekat ladang.

Lihat selengkapnya