Uang Saku Terakhir

Ruth Nirmala Giardani
Chapter #2

Vol. 1 - Bahagia Yang Sempurna.

Vol 1. ; Before I Lost Him

Bab 1; Bahagia Yang Sempurna.


Klaten, Juli 2002.

Kalau ada hal hebat yang dibanggakan saat usiaku menginjak enam tahun, selain mendapat peringkat pertama di kelas adalah aku memiliki adik! Sekarang, aku bisa pamer seperti teman-teman yang lain. Berbulan-bulan yang lalu, Papa pernah bertanya, apa aku senang kalau aku akan menjadi kakak? Aku jawab iya karena banyak teman-temanku yang juga memiliki adik. 

Papa bertanya sekali lagi, ketika perut Mama semakin lama semakin besar. Katanya, adik bayinya ada di sana, dan akan keluar jika Tuhan sudah bilang boleh. Kata Papa, adik yang ini akan berbeda dengan adik-adik yang hanya bisa aku ajak bermain sepulang sekolah. Adik yang ini, akan berada di rumah yang sama denganku, berbagi segalanya denganku, dan harus aku sayang. Padahal, aku sudah mendengarnya dari teman-temanku yang sudah memiliki adik. Katanya akan menyenangkan, apalagi kalau Adik sudah bisa tertawa, tidak hanya menangis.

“Mbak Sara, mau adik laki-laki atau perempuan?”

Pertanyaan itu sudah kudengar berulang kali, sampai aku tidak bisa menghitungnya. Dan selalu kujawab dengan laki-laki.

Kata Papa, lebih enak punya adik laki-laki. Karena kalau sudah besar, nanti gantian dia yang akan melindungiku. Lalu, supaya jumlah laki-laki dan perempuan di rumah imbang. Supaya Papa punya bolo katanya. Selain itu, hampir semua adik sepupuku adalah perempuan, jadi aku merasa, mungkin akan bosan jika aku memiliki adik perempuan lagi. Apalagi yang harus aku jumpai selama dua puluh empat jam penuh. Artinya, aku juga harus berbagi Barbie atau bonekaku juga, kan? 

“Mbak, mau rasakan adiknya nendang lagi, nggak?” Kata Mama sambil mengusap perutnya.

Aku mengangguk dengan semangat. Sangat suka ketika Mama bilang kalau adikku bergerak dalam perutnya.

“Adiknya cewek apa cowok, Ma?”

Mama melirik Papa yang sepertinya sedang tidak bersemangat. Padahal kami baru saja ketemu Bapak Dokter yang katanya memeriksa Adik dan Mama. Biasanya Papa yang paling bersemangat, entah kenapa hari ini loyo sekali.

Sambil menahan tawa, Mama bilang, “Kata Pak Dokter tadi cewek. Makanya, Papamu ngambek.”

“Papa sedih?” Tanyaku pada Papa yang sedari tadi diam.

Papa menggeleng, lantas memaksakan senyumnya. “Enggak, Papa cuma syok saja. Nggak masalah kalau Adiknya cewek, yang penting Mama sama Adik sehat.”

“Memangnya, kalau sudah dibilang cewek, nggak bisa jadi cowok ya, Pa?” Tanyaku lagi.

Mama tertawa lagi, sedangkan Papa menggaruk lehernya sambil melirik Mama. “Itu… masih bisa, kok. Tapi, Mbak bantuin Papa juga ya, lewat doa. Minta Adiknya cowok saja, sama Tuhan.”

Aku mengangguk dengan bersemangat. “Tentu! Aku mau doa setiap hari biar Adikku cowok, biar Papa nggak sedih.”

Papa mengusap puncak kepalaku dengan tawa. Hingga aku mendongak, menatapnya dan Mama secara bergantian. “Memang, Adik keluarnya kapan? Kok lama?”

“Dua minggu lagi. Bisa lebih cepat, atau lebih lama. Tergantung sama Tuhan, bolehnya kapan.” jawab Mama.

****

Aku menghitung setiap hari, kata Mama kalau sesuai kata Bapak Dokter, sepuluh jari ditambah empat, aku bisa bertemu dengan Adik. Tetapi, baru jari ke dua belas, ketika kami bersiap akan pergi ke gereja, Mama bilang perutnya sakit. Kata Mbah Ibu, Adik sudah mau keluar. Ehm, Mbah Ibu adalah panggilanku untuk Nenek. Asalnya dari mana, aku juga tidak tahu, semua saudaraku juga memanggilnya begitu. Mungkin supaya keren dan berbeda dari keluarga kebanyakan? Ya, sepertinya sih, begitu.

Kata Mama, rasanya sakit sekali. Aku jadi tidak tega melihatnya. Papa mengambil tas yang sudah kami siapkan sebelumnya, isinya barang-barang kebutuhan Mama dan Adik nanti. Aku juga ikut menyiapkannya loh! Baju yang Adik kenakan nanti, aku yang pilih. Warnanya biru, karena kalau pink, warna kesukaanku. Aku juga sudah berdoa setiap hari, supaya Adikku nanti laki-laki. Kata Papa, Tuhan tidak pernah ingkar janji. Jadi, aku percaya saja.

Begitu sampai di Rumah Sakit, Mama dan Mbah Ibu masuk ke ruangan yang katanya tempat Adik lahir. Aku dan Papa menunggu di luar.

“Mbak, bantu doa buat Mama sama Adik di dalam, yuk? Mbak Sara yang pimpin doa ya? Kan sebentar lagi resmi jadi Kakak.”

Lihat selengkapnya