Udah Jangan Nikah Dulu, Nanti Aja Nikahnya

Okhie vellino erianto
Chapter #1

Gue Takut Nikah, Bukan Gak Mau

“Lo nunggu apalagi, Lex? Umur udah tiga puluh dua, tinggal nunggu uban nongol tuh!” – Dimas, dengan ekspresi sok bijak sambil nyeruput kopi sachet di kantor.

Alex menatap langit Jakarta dari balik jendela lantai sepuluh kantornya. Macet, panas, dan suara klakson dari bawah jadi backsound harian yang udah biasa. Tapi pertanyaan Dimas barusan bukan cuma retoris. Itu kayak peluru yang langsung kena titik lemah dalam hati Alex.

Dia bukan anti pernikahan. Tapi kalau harus jujur, dia takut. Takut nikah cuma karena nafsu. Takut punya istri yang main drama. Takut kehilangan hubungan yang selama ini hangat sama ayahnya. Takut… salah pilih.

Ayahnya, Pak Suyatno, pensiunan TNI, sekarang punya restoran legendaris di bilangan Menteng. Restoran “Rasa Jaya”, tempat para menteri dan jenderal dulu-dulu sering makan. Walau sudah tua, ayahnya masih kuat berdiri di dapur sambil marahin tukang masak yang keasinan.

“Lex, hidup tuh bukan buat ngelawan trauma terus. Lo pikir ayah lo dulu enggak takut nikah? Tapi dia jalanin, dan lo lahir,” kata Agung, temannya yang paling sering sok filosofis walau belum pernah pacaran.

Alex nyengir. “Gue bukan takut pacaran. Gue takut jadi suami yang salah.”

Hari itu, setelah jam kantor, mereka nongkrong bertiga di warung tenda sebelah kantor. Ucok baru gabung jam delapan malam, telat seperti biasa.

“Eh, bangsat lo semua. Gue telat bukan karena telat, tapi karena motor gue mogok,” kata Ucok sambil duduk tanpa merasa salah.

Dimas ketawa ngakak. “Ucok mah kalau gak salah, bukan Ucok.”

Obrolan berubah jadi sesi roasting Alex.

“Lu tuh udah punya perusahaan, mobil ada, rumah ada, karyawan cakep-cakep juga ada. Tapi istri gak punya. Jangan-jangan…” – Ucok sengaja menggantung kalimatnya.

“Jangan-jangan apa, Cok?”

“Jangan-jangan lo cinta sama Agung?”

Tawa pecah.

Alex ikut ketawa, tapi hatinya nggak setenang itu. Malam itu, dia pulang ke rumah dan melihat ayahnya lagi nonton siaran ulang MotoGP di ruang tengah sambil nyemil kacang goreng.

“Kapan lo mau kasih cucu buat Ayah?” – pertanyaan yang datang dari laki-laki paling tenang dalam hidupnya, tapi malam itu terasa berat banget.

Alex diam. Duduk di sebelah ayahnya. Tidak langsung jawab. Mereka menonton layar TV, tapi pikirannya berkelana.

“Yah, gue takut salah pilih istri. Gue takut bukan karena gak mau nikah, tapi karena... gue gak mau ngorbanin kebebasan, gak bisa sayang ke lo kayak sekarang, dan...” – Alex menatap ayahnya. “...gue takut cewek yang dateng malah ngatur-ngatur semua.”

Pak Suyatno tertawa kecil. Tapi bukan tertawaan meremehkan.

“Hidup emang soal risiko, Lex. Bahkan TNI yang udah latihan pun bisa salah tembak. Tapi hidup gak bisa lo skip kayak game.” “Nikah itu bukan soal siap, tapi soal jalanin bareng.” “Kalau takut terus, yang ada cuma lo, TV, dan akuarium kosong di kamar lo.”

Keesokan harinya, di kantor, Alex dapet DM dari cewek yang dulu pernah dia suka waktu SMA—Nadya. Sekarang kerja di bidang arsitektur interior. Foto profilnya senyum manis di Bali.

“Hai Lex, liat postingan lo soal kopi kemarin. Lucu! Kita ngopi yuk kapan-kapan?”

Alex bimbang.

Tiga sahabatnya langsung ribut begitu tahu.

“Ciee mantan masa depan nongol,” kata Agung.

Ucok langsung buka akun Nadya di Instagram. “Cakep. Tapi, bahaya. Nih liat caption-nya: ‘Aku ingin dicintai tanpa dicurigai.’

Dimas manggut-manggut. “Biasanya tuh kode buat cewek yang mau bebas tapi gak mau dikekang.”

Alex bengong.

“Masa lo semua analisis orang cuma dari caption Instagram?”

Mereka kompak jawab, “YA IYA LAH!”

Alex duduk sendiri di rooftop kantor. Di tangannya, pesan Nadya belum dibalas. Dia mengingat lagi kata-kata ayahnya, dan tawa teman-temannya.

“Nikah bukan buat kabur dari kesepian, tapi buat hadapin hari-hari berdua.” Tapi gimana kalau yang dia pilih justru orang yang bikin dirinya hilang?

Dan untuk pertama kalinya… Alex merasa siap untuk memulai sesuatu. Tapi bukan karena tekanan.

Tapi karena dia pengin ngerti dirinya sendiri lebih dalam, sebelum ngerti orang lain. Jakarta, pukul 07.45 pagi.

Alex berdiri di depan cermin sambil merapikan dasi abu-abunya. Kantornya punya aturan semi-formal, tapi hari ini ada presentasi bareng klien dari Singapura. Rapi itu wajib. Di belakangnya, berita pagi dari televisi menyala dengan volume rendah—hanya jadi suara latar dari rumah yang terlalu hening sejak ibunya meninggal.

Di meja makan, Ayahnya, Pak Suyatno, sudah duduk lebih dulu. Pria tua itu masih tegap walau rambutnya hampir putih semua. Di depannya ada sepiring nasi goreng, telur dadar, dan segelas teh hangat.

"Makan dulu, Lex. Jangan cuma minum kopi. Perut lo bukan robot," kata ayahnya tanpa menoleh dari koran.

Alex tertawa kecil. "Gue anak IT, Yah. Gue makannya data."

"Data bisa kasih lo gaji, tapi gak bisa nolong kalau lambung lo bocor."

Alex duduk, mengambil sendok. Rutinitas ini sudah bertahun-tahun dijalani sejak dia balik ke rumah tiga tahun lalu. Setelah putus dari mantan yang hampir dia nikahi—yang ternyata selingkuh sama mantan dosennya sendiri.

Trauma? Banget.

Di ruang kerja terbuka, Agung sudah duduk sambil ngopi sachet dan browsing meme. Dimas lagi sibuk meeting via Zoom dengan wajah serius, tapi di layar laptopnya, ada jendela Netflix tersembunyi. Ucok? Masih belum datang. Seperti biasa.

"Lex, gue pengen resign. Pindah ke Bali. Jadi seniman ukir kayu," kata Agung tiba-tiba.

Alex menoleh. "Lo gak bisa ukir, Gung."

"Makanya gue pindah dulu, baru belajar."

"Lo mau hidup dari apa?"

Agung mengangkat gelas kopinya. "Dari cinta dan kopi."

Alex hanya menghela napas. Hidupnya penuh orang-orang absurd, tapi mereka adalah alasan kenapa ia betah kerja, meski capek.

Presentasi berjalan lancar. Klien puas. Tim lega. Tapi saat semua orang keluar ruangan dengan senyum puas, Alex tetap diam di belakang, menatap whiteboard kosong.

Dia capek. Bukan karena kerjaannya.

Tapi karena pertanyaan yang sama muncul lagi: “Mau sampai kapan lo sendiri?”

Seminggu terakhir, grup keluarga ribut soal rencana pertemuan keluarga besar. Dan tentu saja, yang dibahas adalah: pernikahan sepupu, mantan pacar yang sudah nikah, bahkan kabar adik sepupu umur 23 yang sudah lamaran.

Alex? Masih jadi "kandidat suami yang misterius dan bikin penasaran."

Ucok akhirnya nongol.

"Maaf gue telat, jalanan rusak, motor mogok, ban gembos, dan polisi galak."

"Lo naik apa sih, Cok? Mobil tua zaman Jepang?" tanya Dimas.

Ucok ketawa. "Motor gue tuh legendaris. Sekali mogok, bisa bikin lo sadar bahwa hidup itu susah."

Agung nimbrung, "Lex, lo inget Nadya gak?"

Alex berhenti mengunyah.

"Nadya yang SMA?"

"Iya. Tadi dia story, terus ada mutual temen kita. Katanya sekarang dia arsitek, kerja di Senayan. Dia masih single."

Alex pura-pura cuek, tapi hatinya agak bergetar. Nadya adalah gadis yang dulu bikin dia nulis puisi di buku matematika.

"Terus kenapa?"

"Ya kenapa gak lo ajak ngobrol lagi?"

"Karena terakhir kali gue ngobrol sama cewek, gue malah diblok."

Alex duduk di teras belakang. Ayahnya duduk di sebelahnya sambil menyalakan rokok.

"Lex, ayah udah tua. Ayah pengen lihat lo bahagia. Punya keluarga. Jangan keburu botak dulu baru sadar."

"Yah, gue gak yakin nikah bisa bikin bahagia."

"Lha, ayah juga gak yakin. Tapi ayah nikah sama almarhumah ibumu 34 tahun, dan gak nyesel. Bahagia itu dibangun. Bukan ditunggu."

Alex diam. Lama.

"Kalau gue nikah, terus istri gue ternyata manipulatif? Nuntut gue begini-begitu? Terus gue gak bisa kayak sekarang, ngobrol gini sama ayah?"

"Kalau lo pikirin semua kemungkinan jelek, hidup gak akan lo jalanin. Lo tahu kenapa TNI bisa tetap maju ke medan perang?"

Alex menggeleng.

"Karena mereka tahu: takut itu wajar. Tapi lebih takut lagi kalau gak ngelindungin yang mereka cintai."

Pesan dari Nadya masuk.

“Hai Lex! Baru liat IG lo. Gokil ya, lo udah jadi CEO. Ngopi yuk kapan-kapan?”

Alex menatap layar ponsel. Jemarinya melayang di atas keyboard. Bingung mau jawab apa.

Ucok di belakang tiba-tiba muncul sambil bawa donat.

"Itu Nadya ya? Balas dong. Masa mau nunggu sampe pensiun baru bales?"

Alex tertawa.

"Cok, lo percaya cinta pertama itu bisa bersemi lagi?"

"Percaya. Tapi biasanya gagal dua kali." Pukul 08.00 pagi, dua hari setelah pesan dari Nadya.

Alex belum membalas pesan itu.

Lihat selengkapnya