Senin pagi – Kantor Lexonix
Cuaca cerah, kopi masih hangat, dan chat dari Nadya pagi itu bikin hati Alex agak ringan:
Alex tersenyum. Tapi sebelum sempat bales, suara Dimas langsung memecah konsentrasi dari luar ruangan:
Dimas nyodorin tablet. Terbuka profil Instagram seseorang bernama Raka Prasetyo. Caption terakhirnya bikin dahi Alex mengernyit:
Alex diam. Rasanya kayak ditepuk keras di dada.
Pukul 09.30 – Ruang Meeting
Meeting bareng tim jalan seperti biasa, tapi kepala Alex gak sepenuhnya ada di ruangan. Kata-kata di postingan Raka terus terngiang. Siapa dia buat Nadya? Mantan? Teman dekat? Atau...?
Ucok langsung nyeletuk di sela meeting:
Alex menjawab lirih, “Tadi gue liat postingan cowok, kayaknya mantan Nadya. Bikin caption yang... nyerempet banget.”
Agung langsung duduk serius. “Lo udah tanya Nadya?”
“Belum. Gue takut dibilang insecure.”
Malam hari – Video Call dengan Nadya
Alex akhirnya gak tahan. Dia angkat topik itu pelan-pelan.
Nadya terdiam beberapa detik. Wajahnya gak panik, tapi jelas ada sesuatu yang ditahan.
Alex terdiam. Nadya melanjutkan.
Alex akhirnya bicara, “Gue ngerti. Tapi gue juga manusia, Nad. Gue gak mau masuk ke hubungan yang ada bayangan orang lain.”
Nadya pelan-pelan menunduk. Lalu berkata:
Selasa – Ngopi Bareng Sahabat
Alex duduk di warkop biasa bareng Agung dan Ucok. Dia cerita semuanya.
Ucok komentar, “Cowok-cowok kayak Raka tuh racun. Dia bukan sayang, tapi kepo. Gak mau lo bahagia tanpa dia.”
Agung menyambung, “Tapi lo juga jangan gampang goyah. Nadya udah jelas jujur. Sekarang giliran lo, Lex. Lo tahan gak jalan sama cewek yang punya masa lalu?”
Alex menatap langit. “Gue tahan. Tapi... gue takut luka dia suatu hari balik nyakitin gue juga.”
Malam itu – Rumah
Ayah Alex duduk di teras, lagi nyemil singkong goreng. Alex duduk di sebelahnya. Suasana sepi. Sampai ayahnya nyeletuk:
Alex mengangguk. “Tapi gue takut masa lalunya masih ngejar.”
“Kalau lo nyerah sekarang, Raka menang. Tapi kalau lo lanjut dengan hati-hati, kamu bisa jadi alasan dia gak lihat ke belakang lagi.” Rabu pagi – Kantor Lexonix
Langit mendung. Suasana kantor agak tegang, bukan karena deadline, tapi karena wajah Alex yang keliatan makin gelap dari hari sebelumnya.
Agung nyamperin dengan secangkir kopi sachet. “Lex, serius nih, lo kayak habis nonton film tragedi lima episode nonstop.”
Alex nyender ke kursi. “Nadya mulai dingin, Gung. Chat cuma dibales pendek. Voice note yang biasanya ada tiap pagi, udah dua hari gak ada.”
Agung duduk di meja Alex. “Lo udah tanya kenapa?”
Ucok nyelonong masuk bawa roti sobek. “Gue liat story Nadya kemarin. Dia nulis: ‘Kadang, yang datang baru malah keburu takut sama bayangan lama.’”
Alex langsung membeku. Kata-kata itu terlalu spesifik.
Alex mengangguk pelan. “Dan mungkin... dia gak salah.”
Pukul 13.00 – Kantin kantor
Alex mencoba hubungi Nadya. Telepon gak diangkat. Chat gak dibalas. Sore harinya, dia dapet pesan:
Kalimat itu nusuk. Dalam.
Agung baca pesan itu dan langsung komentar, “Itu bukan dia gak mau, bro. Tapi dia pengen lo punya pilihan buat gak ikut luka dia.”
Dimas nambahin, “Kalau lo serius, lo gak cukup cuma nunggu dia tenang. Lo harus bikin dia tahu: dia gak sendirian.”
Kamis malam – Alex nekat ke rumah Nadya
Di depan gerbang rumah, hujan mulai turun. Tapi Alex tetap berdiri. Payung di tangan, nunggu.
Pintu dibuka. Nadya keluar. Wajahnya kaget. Lelah. Tapi juga... tersentuh.
Alex menatapnya, basah kuyup setengah badan. “Gue gak mau semua yang kita bangun hancur cuma karena satu orang di masa lalu lo.”
Alex melangkah lebih dekat.