Alex baru sampai kantor jam 8:15, tapi wajahnya udah kayak orang habis begadang. Mata sembab, rambut agak acak, dan tangan pegang kopi seperti alat bantu hidup.
Dimas nyapa dari meja sebelah, “Gila bro, lo keliatan kayak abis perang kecil semalam.”
“Gue cuma mikir... hidup bareng seseorang itu bukan cuma tentang cinta. Tapi tentang gimana lo bisa tetap kerja, tetap waras, sambil tetap cinta.”
Ucok nyeletuk dari belakang, “Dan tetap bayar cicilan!”
Semua ketawa, tapi Alex gak ikut.
Siang – Meeting investor
Hari itu Lexonix pitching ke investor Singapura. Rapat berjalan tegang. Saat presentasi berlangsung, tiba-tiba notifikasi WA muncul di layar:
"Nadya: Bisa telepon nanti? Aku ditawarin kerjaan di Bali. Full time."
Alex bengong sejenak. Suaranya sempat patah di tengah presentasi. Tapi dia lanjut. Selesai.
Di luar ruangan, dia cuma bisa duduk dan menatap chat itu. Lama.
Sore – Rooftop kantor
Dimas duduk di sebelah Alex.
“Nadya ditawarin kerja di Bali?” “Iya. Gue belum sempat bales.”
Dimas angkat bahu. “Kalau gue jadi lo, gue dukung. Tapi kalau gue jadi dia, gue juga bakal nanya: lo bakal ikut atau rela ditinggal?”
Alex diam.
“Gue gak bisa ninggalin kantor. Tapi gue juga gak mau dia ngerasa harus milih antara karier dan cinta.”
Malam – Telepon Nadya
Mereka bicara.
“Lex, ini bukan berarti aku pasti nerima. Tapi aku pengen kamu tahu duluan.” “Kapan lo harus jawab?” “Paling lambat Jumat.”
Hening.
“Kalau lo berangkat... kita LDR?” tanya Alex.
Nadya menghela napas. “Atau kita pisah. Tapi bukan karena benci. Karena realita.”
“Enggak. Kita gak pisah. Kita cari cara.” “Apa caranya?” “Gue gak tau. Tapi gue gak mau kehilangan lo cuma karena lokasi.”
Selasa – Rumah Alex
Alex curhat ke ayahnya sambil bantu masak nasi goreng.
“Dia ditawarin kerja di Bali.” “Bagus dong.” “Kalau dia pergi, hubungan kita makin susah.” “Kalau kamu tahan, berarti kamu pantas. Kalau kamu lemah, berarti memang belum waktunya.”
Alex mendesah. “Ayah, gue takut gagal. Takut ditinggal.”
Pak Suyatno menepuk pundaknya. “Kalau kamu takut ditinggal, cintailah dengan cara yang membuat dia ingin pulang.”
Rabu pagi – Kantor Nadya
Atasan Nadya manggil ke ruangannya. Ternyata tawaran kerja di Bali itu bukan cuma biasa-biasa. Gajinya dua kali lipat. Fasilitas lengkap. Tapi... jauh dari Jakarta, dari Alex, dari ibunya.
“Saya kasih waktu sampai Jumat. Tapi, saya sarankan kamu ambil. Ini kesempatan besar.”
Nadya pulang sore itu dengan kepala penuh. Di satu sisi, dia pengen tumbuh. Di sisi lain, dia gak mau menghancurkan apa yang sudah dia dan Alex mulai bangun. Nadya duduk di ruang tengah, ibunya sedang melipat baju sambil menonton sinetron. Sesekali, iklan makanan muncul, dan ibu Nadya langsung bergumam, “Wah, kayaknya enak tuh...”
Nadya gak ikut komentar. Wajahnya serius.
“Bu...” “Hm?” “Kalau aku pindah ke Bali untuk kerja, Ibu bakal gimana?”
Ibu Nadya menghentikan aktivitasnya.
“Kalau itu buat kebaikan kamu, Ibu dukung. Tapi kamu sendiri yakin kamu kuat jauh dari orang-orang yang kamu sayang?”
Nadya menghela napas. “Justru itu yang bikin aku ragu.”
Ibu Nadya tersenyum bijak. “Kamu harus tahu, nak... kerjaan bisa dicari. Tapi orang yang bikin kamu tenang itu langka.”
Kamis pagi – Kantor Lexonix
Alex duduk di ruangannya, membuka laptop, tapi gak satu pun slide bisa dia fokuskan. Email berderet, tapi yang mengganggu cuma satu hal:
Jumat, Nadya harus jawab.
Ucok masuk dan nempelin stiker di kaca ruangan:
“Kalau sayang, jangan pasrah.”
“Gue punya ide,” kata Alex. “Gue akan bantu dia kejar kariernya... tanpa harus kehilangan kita.”
Dimas langsung nyaut, “Bro, lo mau LDR?”
“Gue mau bikin proposal kerja remote buat dia. Biar bisa tetap di Jakarta dan tetap kerja buat perusahaan Bali itu.”
Agung kagum, “Gila. Gak banyak cowok mikir segila dan sepeduli itu.”
Alex senyum tipis. “Karena gue gak mau kalah sama jarak.”
Kamis siang – Rumah makan Padang
Nadya duduk bareng sahabat lamanya, Rani.
“Nad, hidup itu bukan cuma soal cinta. Kadang lo harus egois buat berkembang.” “Tapi kalau berkembang artinya kehilangan orang yang bikin lo bertumbuh secara batin?” “Lo yakin dia akan tetap nunggu lo?” “Dia gak pernah janji, tapi dia gak pernah kabur.”
Rani menatap Nadya. “Lo hebat. Lo masih percaya ada cinta yang kuat tanpa paksaan.”
Kamis sore – Kantor Lexonix
Alex menyusun proposal remote work buat Nadya. Ia cari data legal, buat simulasi kontrak, bahkan nyiapin pitch deck. Bukan demi menyuruh Nadya ikut maunya, tapi demi bantu dia tetap bisa berkembang... tanpa pergi jauh.
Agung ngeliat kerja keras Alex dan nyengir, “Lo itu pacar atau manajer HRD sih?”
Alex hanya bilang: “Gue cuma gak mau kalah sama takdir.”
Kamis malam – Rumah Nadya