"Bangun, Jalang!"
Suara umpatan membuatku terhenyak dari mimpi buruk yang sayup-sayup menghampiri. Entah berapa lama aku tertidur. Rasanya baru sebentar dan membuat kepalaku pusing. Aroma pesing yang menyengat bercampur apak ruangan lagi-lagi menyergap cuping hidungku, saat kesadaran perlahan-lahan mulai terkumpul. Mendorong rasa mual dari dasar perut. Sedangkan sosok itu masih saja berteriak hingga membuat telingaku ngilu.
"Masih juga belum mau bersuara. Wanita sialan. Mau sampai kapan kau bersikukuh berlagak jadi bisu?"
Sudut bibirku berkedut. Heh, suara itu lagi. Sekalipun dia menutup kedua mataku dengan kain, aku tahu betul siapa pemilik suara itu. Meski dia hanya bertindak sebagai kacung atas perintah orang yang kukenal juga.
"Di mana kamu sembunyikan USB itu?"
Pertanyaan yang sama masih terus diulang sejak dia menyekapku di ruangan ini. Jika aku tak salah hitung, ini hari kedua dia menyekapku tanpa memberiku makan dan minum. Hanya seteguk air, benar-benar seteguk, ketika aku mengeluh haus dan merasa tenggorokanku kering. Dia bahkan masih mengikat kain yang menutup mataku, meski - kutegaskan sekali lagi - aku sudah tahu siapa dalang di balik penculikan ini.
Namun, sebelum itu, sebelum kuceritakan mengapa aku berakhir di tempat yang menyedihkan ini, biarkan aku bercerita sebuah kisah terlebih dahulu.
Bapakku memberi nama Udumbara. Cantik bukan. Secantik bunga yang hanya mekar setiap seribu tahun lamanya. Ya, kalian tak salah membaca - atau mungkin mendengar. Bunga itu memang hanya tumbuh dan bisa dijumpai setiap seribu tahun sekali. Itu pun tak pasti. Tak sembarang orang beruntung melihatnya. Jadi, jika kalian melihat kembang itu suatu saat nanti, percayalah, ia telah melewati masa seribu tahun hingga akhirnya mekar. Dapat kalian nikmati putih rupanya dan menghidu aromanya yang wangi.
Jangan kira aku sudah pernah melihat wujud kembang yang hanya sebesar telur serangga itu. Jika bukan karena cerita Ibu, aku pun tak akan pernah tahu apabila ada bunga bernama Udumbara yang lantas digunakan Bapak sebagai namaku. Berharap kelak aku menjadi pemimpin hebat sebagaimana mitos yang dipercaya ketika bunga itu muncul di sekitarmu. Sebagai pertanda jika telah lahir pemimpin yang adil nan bijaksana seperti Sang Budha.
Harapan Bapak memang tidak menjadi angan-angan belaka. Bagaimana tidak, aku menjadi pemimpin yang disegani dan dihormati di tempatku bekerja dalam usia muda. 25 tahun dan sudah menempati posisi bersama jajaran orang-orang penting di perusahaan.
Namaku dielu-elukan, disanjung, dilambungkan, dengan sederet prestasi yang kuraih dalam usia muda. Setiap inovasi yang mampu mengembangkan perusahaan yang begerak di bidang media itu, membawaku ke level lebih tinggi. Semakin tinggi.
Keputusan-keputusan yang kuambil selalu membuat orang lain berdecak kagum. Membelalakkan mata. Heran. Dengan usia yang masih begitu muda, aku mampu melampaui batas pengalaman orang-orang yang telah puluhan tahun berkecimpung di dunia media cetak - majalah perempuan khususnya.
Namun, Bapak lupa mengajarkan satu hal kepadaku. Adil dan bijaksana, tak pernah ada dalam kamus kehidupanku. Lantas bagaimana Bapak bisa mengajarkan kedua kata itu, jika hidup pun tak pernah adil kepadanya sejak lahir. Terhimpit kemiskinan bukanlah perkara mudah. Dan ketidakadilan kehidupan melahirkan ketidakbijaksaan. Bagaimana pula mampu bersikap bijaksana, jika Bapak pun tak pernah tahu bahwa ada kata itu di dunia.