Udumbara

Yoru Akira
Chapter #2

Arjuna - 02

Brengsek, wanita sialan. Sudah dua hari, dia tetap saja membisu. Sama sekali tak mengubah keputusannya untuk memberitahuku di mana dia menyimpan USB itu. Sedangkan aku tak punya waktu, sebab ia tak pernah mau menunggu.

Apalagi yang harus kulakukan? Aku sudah menyiksanya dengan tidak memberi makan dan minum, tapi mulutnya masih saja terkunci. Dia bahkan duduk dengan pongah sebagaimana duduk di kursinya yang megah di balik ruangan kaca tempatnya bekerja. Raut wajah itu masih keras, sekeras sikap yang dia tunjukkan selama ini. Bahkan aku yakin, jika kulepas kain yang menutup kedua matanya, sorot itu masih sanggup mengintimidasi meski tubuhnya terikat.

Sekarang sudah pukul 07.00 malam. Genap dua hari aku menyekapnya di tempat ini dan membiarkannya kelaparan. Diam-diam ada perasaan tak tega menyergap, tapi aku tak punya pilihan lain. Aku harus mendapatkan USB itu. Namun, sebelum kuceritakan pada kalian apa yang membuatku menculiknya, akan kuceritakan sebuah kisah terlebih dahulu.

Aku tak seberuntung kawan-kawanku. Lahir, bahkan tak pernah tahu siapa bapakku. Sejak awal yang kutahu hanya memiliki ibu. Perempuan yang kini tergeletak lemas, menunggu anaknya membawa banyak uang demi menjalani operasi penyakit yang menggerogoti tubuhnya.

Sedangkan bapakku, dia telah pergi, mati bunuh diri akibat terlilit utang yang menjerat. Lelaki yang tak pernah kutahu bagaimana wujudnya itu, hanya menitipkan sebuah nama. Arjuna. Dia berharap sang anak tumbuh sebagaimana ksatria penengah Pandawa itu. Jika memang tak beruntung dengan harta, setidaknya dia berharap aku memiliki cinta.

Bapak tak pernah tahu, jika aku pun tak beruntung dengan cinta. Sebab, perempuan yang kuyakini bahwa aku mencintainya, begitu tinggi. Sangat tinggi. Membuatku tak sanggup menggapainya. Bahkan untuk menyentuh ujung rambutnya pun, aku tak bisa. Tak akan pernah bisa. Perbedaan kami begitu nyata. Dia langit dan aku bumi. Rendah, juga terinjak.

Meski beribu perempuan mengantre dan menatapku terpikat setiap kali aku lewat, berbeda dengan dia. Dalam hidupnya mungkin tak ada cinta. Kecuali cinta yang dicurahkan bapak serta ibunya. Dia hanya memahami bagaimana caranya menyusun rubrik yang menarik, hingga meningkatkan penjualan majalah kami setiap bulannya. Semakin laris hasil penjualan majalah karena memburu rubrik divisi kami, semakin dia jumawa. Semakin aku tak sanggup menggapainya.

Ya, dialah perempuan itu. Ara, Udumbara. Redaktur pelaksana di tempatku bekerja sebagai reporter untuk majalah perempuan yang cukup terkenal di negeri ini. Perempuan yang tidak hanya muda, tapi juga tegas dan berani bersuara. Tak segan bertindak semena-mena jika ada hal yang tak sesuai dengan keinginannya. Bibirnya yang berhias lipstik warna nude itu, selalu ringan memaki dan mengumpat, bila tim yang dia kepalai bertindak di luar rencana. Tidak salah jika kariernya begitu cepat melejit dan menempati posisinya saat ini. Padahal masih banyak senior yang sudah lama bekerja, tapi tak juga beranjak kariernya.

Sedangkan aku? Korban cinta buta yang selalu menghamba. Aku rela menjadi bodoh. Rela membuat kesalahan hanya demi berharap dia mengundangku masuk ke ruangan dan menghadapi kenyataan pahit setelahnya. Namun, aku suka. Aku cinta. Pada mulut manis, tapi tak semanis ucapannya.

Apa kalian bertanya, jika aku cinta mengapa menculik dan menyekapnya hingga menderita - meski pada kenyataannya akulah yang menderita?

Ini bukan perkara mudah, Sayang. Hidupku terlalu rumit dan jelimet. Sudah kubilang bukan, bapakku mati bunuh diri akibat terjerat utang. Tak ada warisan yang dia tinggalkan kecuali nama dan setumpuk utang yang tak juga lunas terbayar, meski aku sudah tumbuh menjadi lelaki 27 tahun.

Lantas tawaran itu datang bagaikan embun yang menyentuh kulitku. Sejuk. Tenang. Menyelamatkan.

Lihat selengkapnya