Raungan sirine polisi memekakan telinga di luar bangunan mangkrak yang rencananya akan dibangun hotel, tapi tak juga diteruskan akibat terkendala investor. Aku hafal bentuk bangunan ini meski dalam gelap. Sebab, aku memang cukup sering melewati bangunan itu ketika hendak pulang di daerah Menteng.
Sesekali aku terkadang suka iseng menyusup ke dalam bangunan-bangunan yang tak lagi terpakai, hanya demi melampiaskan rasa penasaranku. Mengapa masih saja ada orang yang menghambur-hamburkan uang tanpa perencanaan matang. Membuat bangunan yang berakhir menganggu pemandangan. Alih-alih memperindah tatanan kota. Menurutku mangkraknya bangunan adalah bukti jika mereka tak memiliki perencanaan yang matang.
Namun, aku tak tahu alasan apa yang membuat Arjuna membawaku ke tempat ini dan tak pernah mau tahu.
Kilatan cahaya merah dan biru memantul di dinding bangunan yang sudah tak jelas lagi bentuknya. Semakin dekat. Bahkan derap langkah bersepatu laras panjang bergema di selurh dinding. Wajah Arjuna memucat. Membuatku menarik sudut bibir menertawakan kebodohannya. Sampai detik ini pun, aku tak tahu apa yang membuat lelaki itu dengan bodohnya melapor pada polisi atas tindakan yang dia lakukan sendiri.
Mungkin, telinga lelaki itu sekejap menjadi lebih awas. Dia refleks berdiri dari posisinya bersimpuh dan menjauhkan jarak kami berdua. Terlihat jelas dari gesturnya jika Arjuna tampak gugup. Lelaki itu berjalan mondar-mandir di hadapanku. Sesekali mengintip dari balik pintu. Lantas berdiri gelisah di depanku. Jari-jemarinya saling bertautan. Kadang juga dengan kesal menggaruk rambutnya yang semakin terlihat berantakan.
Diam-diam aku tertawa. Bukankah aku korban, tapi mengapa justru dia yang terlihat seperti korban penculikan?
"Mereka sudah di sini, Ara. Aku tidak punya banyak waktu. Jadi serahkan USB itu sekarang dan aku benar-benar akan melepaskanmu."
"Sebelum itu, aku bisa lebih dulu berteriak agar mereka segera sampai di sini."
"Kamu tidak akan mungkin melakukan itu."
Sudut bibirku lagi-lagi mengembang. "Kenapa aku tidak bisa melakukannya? Jangankan hanya berteriak. Memenggal kepala atau membuatmu kehilangan pekerjaan pun menjadi perkara mudah buatku, Juna."
"Kalau gitu lakukan. Teriak yang kencang hingga tenggorokanmu patah," ancam Arjuna. Kali ini dia berjalan tergesa ke arahku dan menempelkan benda dingin di pangkal tenggorakanku.
Heh, bahkan dia berani mengancamku? Apa menurutnya aku takut kehilangan nyawa? Aku tidak takut. Tidak pernah takut. Sebab aku Udumbara. Perempuan yang bahkan hampir kehilangan nyawa karena kelaparan bertahun yang lalu. Bahkan dapat kupastikan, Arjuna akan membayar lebih buruk atas perbuatannya, jika berani melenyapkan nyawaku.
"Kau mengancamku, Arjuna? Kita lihat, siapa yang lebih berani di sini," kataku tanpa gentar. Tanpa aba-aba aku berteriak meminta tolong dan disusul suara tembakan peringatan dari luar.