Pilan menggebrak meja. "Gila. Gara-gara pesan nggak jelas itu, kita jadi repot!"
Lima pasang mata menatap Pilan tajam, membuat dia kembali diam. Tiga ibu duduk di sofa menghadap ketiga anaknya yang bersimpuh di lantai.
"Hey Muhammad Priatama Lasdhan!" Teriak ibu Pilan menunjuk hidung anaknya yang bebas hambatan. Seperti prosotan yang semakin ke bawah bukan semakin menanjak tapi malah semakin curam.
Pilan terdiam. Ibu hampir tak percaya, anaknya yang urakan, pecicilan, dan tidak jelas itu menjadi tersangka penculikan dalam hitungan jam. Memang, rambutnya gondrong dengan potongan bob seperti anak perempuan. Pirang di ujungnya. Dia selalu keluar dengan kaos oblong berbagai macam motif dan celana jin motif kulit manusia (alias bolong-bolong). Suka menggembara dengan geng motornya. Sering pulang dengan patah tulang karena terjatuh dari motor setelah balapan. Ah, tetapi dia masih anaknya yang menurut dan tidak pernah mengeluh meski buayanya berubah jadi roti, motor trailnya pernah jadi motor CB, kaos oblong bermotif cat tumpah kesayangannya pernah digunakan sebagai lap dapur dan celananya pernah ibu pakai untuk keset kamar mandi tanpa tulisan welcome.
"Muhammad Kemal Kusuma Malik." Gumam ibu Keuma berulang-ulang. "Kacamatamu itu sama sekali nggak berfungsi."
Dia lebih tak percaya, anak kebanggaannya terjebak dalam situasi rumit. Meski pikirannya kadang tak seperti manusia normal, tetapi dia tetap menjadi kebanggaan orangtua. Dia memerhatikan hal-hal kecil, bahkan terbilang orang yang sangat rapi. Rambutnya yang seperti ijuk saja tidak pernah dibiarkannya panjang sesentipun. Dia percaya diri dengan rambut spikynya. Berbeda dengan Pilan, Keuma lebih suka mengenakan kemeja atau lebih sering mengenakan flaid shirt dan celana biasa. Kadang dipadunya dengan kaos, kemeja, dan slim fit jeans. Dia tidak suka mengatur dirinya harus sesuai fashion. Yang penting baginya nyaman.
"Ini nih, biangnya!" Tunjuk ibu pada Athan. "Muhammad Athalah Ghani."
Athan menunduk. Cita-citanya tercoreng. Kini dia justru menjadi fuckboy di mata ibu. Sebenarnya ibu percaya pada anaknya. Dia selalu tampil sederhana dan kalem. Kalau keluar dia lebih nyaman dengan kaos polos dan celana dasar. Rambutnya pun dipotong undercut. Tidak pernah aneh-aneh. Bagaimana mungkin anak yang tidak pernah aneh-aneh itu tiba-tiba menjadi seorang penculik?
Ibu masih ingat bagaimana anaknya ditunjuk dan diseret oleh hansip. Dimaki dan dituduh macam-macam. Padahal ibu yakin bahwa dia tidak mengenal Lala maupun Fafa. Pernyataan Athan soal nomor yang dipercaya ayah Lala sebagai nomor Lala, yang tiba-tiba muncul di pesannya, memang benar. Athan tidak mengetahui nomor itu, tidak juga mengenal pengirimnya.
Musibah memang tidak pernah diduga. Tadi pagi, Pilan terjun ke selokan setelah melihat penampakan Fafa. Sekarang, Athan menjadi penculik karena Lala. Imbasnya, mereka bertiga akhirnya terlibat masalah yang sama. Pilan dan Keuma, dianggap berkomplot dengan Athan untuk menculik Lala dan Fafa.
"Kalian urus sendiri urusan kalian," kata ibu Keuma.
Dia beranjak, meninggalkan rumah Athan diikuti oleh ibu Pilan.