November, 2010, minggu kedua
Ninin menghela napas saat laju motor ayahnya berhenti tepat di seberang gerbang SMA Mandala. Ia pun turun, lalu berpamitan pada sang ayah.
"Ninin masuk dulu, Yah. Ayah hati-hati."
"Eh, Nduk, nanti kalau Ayah nggak jemput lebih dari lima menit, kamu naik angkot aja yo. Soalnya Ayah ada proyek di daerah sebelah, takut enggak nutut jemput kamu."
Ninin mengangguk, bukan hal mudah baginya untuk bisa jalan sendirian, apalagi menaiki angkutan umum. Namun, ia mengerti pekerjaan ayahnya yang seorang kontraktor dan harus siap kesana kemari untuk melihat proyek yang tengah ditangani. Cewek berpipi chubby itu melambaikan tangannya saat motor sang ayah meninggalkan kawasan sekolah. Lantas ia kembali menatap bangunan SMA Mandala.
Sejak awal masuk ke sekolah yang terkenal dengan prestasi non akademisnya itu, Ninin sudah merancang kehidupannya sampai lulus nanti. Ia berharap enggak ada hal yang mengganggu, tapi justru ia malah terjebak dengan ketidak enakannya sendiri pada Ike. Sekarang ia selalu gusar ketika memasuki sekolah.
Kalau dipikir-pikir, harusnya Ninin menolak saja permintaan Ike yang aneh-aneh itu, tetapi ada daya ia memang tipikal enggak enakan, apalagi pada sohib karibnya sejak SMP. Belum lagi wajah memelas Ike membuat Ninin enggak tega sama sekali. Ia juga jenuh kala Ike bercerita tentang pacar-pacarnya terdahulu yang bikin hati dongkol. Namun, ia juga enggak enak sekarang kala harus mengerjai kakak kelasnya itu dengan akun palsu, padahal kelihatannya Sadewa itu baik-baik saja.
Ninin berdecak sembari berjalan perlahan, lebih lambat dari biasanya. Kamus bahasa inggris yang tebalnya kayak harapan itu dirangkulnya. Tatapannya lurus ke jalanan depan, tapi sebenarnya ia melamunkan hal yang sesungguhnya enggak penting untuk dipikirkan.
Tin!
Kamus itu meluncur dengan bebas dan jatuh ke paving. Ninin benar-benar terkejut sama klakson dari motor di belakangnya. Padahal ia merasa jalanan itu sudah luas dan belum terlalu ramai yang masuk ke sekolah. Parno yang menyerangnya tadi membuat Ninin enggak fokus sama jalanan dan sekarang ia dikejutkan pagi-pagi. Beruntung jantung itu organ ciptaan Tuhan, kalau enggak pasti sudah lepas dari tempatnya.
Walaupun dalam hatinya kesal karena kaget, tetapi Ninin juga enggak mau memperpanjang dengan memaki. Ia hanya menghela napas sejenak dan berniat mengambil kamusnya lagi. Hingga, niat itu terpatahkan oleh seseorang yang mengambil buku itu.
"Nih, sorry ngagetin. Soalnya kamu jalannya di tengah-tengah jalan."
Sumpah demi apapun, Ninin langsung terdiam. Jantungnya kayak mati sejenak sebelum akhirnya kembali berfungsi. Ia bahkan melupakan kamus bahasa inggris yang dibawa oleh seseorang itu dan langsung melesat meninggalkan halaman depan sekolah, masuk buru-buru ke dalam kelasnya yang ada di lantai dua.
Sementara cowok jangkung yang enggak lain Sadewa mengerutkan dahi sambil tangan kananya masih memegang kamus milik Ninin. Di atas motornya, ia hanya heran dengan sikap adik kelas yang bahkan ia enggak tau siapa namanya. "Tuh anak kenapa?"
Hingga setelah sadar ia masih memegang kamus milik Ninin, Sadewa mendecak. "Lah ini aku kembaliin ke mana? Dia siapa? Halah repot bener."
Sadewa menghela napas, lalu menaruh kamus itu di dashboard motor model sportnya itu. Cowok jangkung itu lalu melanjutkan mendorong motor yang mesinnya sudah mati ke tempat parkir yang terletak di ujung dari gerbang utama.
Sementara itu, di kelasnya yang ada di ujung lantai dua menghadap ke arah lapangan untuk upacara bendera, Ninin mengatur napasnya karena ia berlari dari lantai dasar ke kelasnya.
"Sial, sial, sial. Kenapa harus ketemu Kak Sadewa! Astagfirullah!"
Jantungya benar-benar belum aman dan setelah sadar untuk kesekian kali, ia justru menepuk dahinya sendiri. "Ngapain aku lari sih? Dia kan enggak kenal aku! Aish, gimana sih ini? Duh, pasti dia ngerasa aneh."