"Oh jadi gitu ... kamunya kenapa mau, sih, Nin?"
Ninin menghela napas dan menutup buku LKS sejarahnya. Kebetulan kelas sepuluh satu setelah jam istirahat gurunya enggak ada, sibuk katanya. Mereka hanya ditinggali sebuah tugas yang harus dikerjakan dan Ninin sudah selesai mengerjakan di satu jam pertama. Hingga, hal itu dimanfaatkan Agnes untuk bertanya banyak pada Ninin terkait obrolannya tadi dengan Ike.
"Aku enggak enak mau nolak. Ike tuh emang suka maksa kalau maunya udah di ubun-ubun. Tapi aku jadi enggak enak sama Kak Sadewa. Ah, ribet lah." Ninin langsung menelungkupkan kepalanya diatas lengan yang bertumpu di meja. "Harusnya aku nolak aja."
"Hemm, sekarang malah kamu yang ribet. Emangnya akun kamu satunya untuk apa, sih, Nin? Emangnya itu si Kak Dewa enggak bakal ngenalin kamu?"
Ninin menatap Agnes cukup lama. Ia sebenarnya juga sudah memikirkan itu. Namun, tampaknya Sadewa enggak mengenali itu, meskipun ada beberapa foto pribadinya yang ada di sosial media. Akun kedua Ninin sebenarnya hanya untuk main-main saja dan sedikit curhat dengan bebas. Tanpa keluarga tahu, tanpa siapa pun teman-temannya tahu, Ninin jadi lebih bebas mengekspresikan apapun. Ia juga sering mengunggah ahsil jepretan kamera ke sosial medianya itu, bahkan wajah dirinya dengan makeup karakter. Mungkin hal itu yang membatu Sadewa enggak mengenali Ninin. Walau sebelum menyetujui, Ninin sudah mengunci sebagian album yang menunjukkan diirnya terang-terangan di facebook itu.
"Akun aku yang kedua emang buat pribadi aja yang enggak da temen deket. Ya gimana ya, kita kadang butuh banget lepas tanpa diketahui sama orang terdekat. Untuk kenal apa enggaknya, kayaknya enggak deh, Nes. Aku juga enggak tau pasti, sih. Semoga enggak kenal. Kalau kenal dia pasti udah ngomong ke aku waktu ketemu tadi pagi."
"Kamu ketemu Kak Dewa tadi pagi?"
Ninin mengangguk. "Ya itu sampai kamusku dianterin siapa itu enggak tau."
Agnes hanya manggut-manggut saja sekarang. Sementara itu jadinya Ninin memang sedang di kubangan kebohongan demi kebohongan. Ia enggak tau apakah kalau Sadewa tahu, cowok itu akan memaafkannya yang ikut mengerjai? Tapi, sumpah itu bukan niat Ninin.
"Kamu jangan bilang siapa-siapa, ya, Nes."
Agnes hanya mengangguk, agak prihatin dia tuh. Namun, juga enggak seratus persen menyalahkan Ninin karena Ike itu temen satu SMP Ninin, jelas teman sebangkunya pasti sudah tahu bagaimana karakter Ike. Walau jauh dalam hati Agnes, ia sedikit kurang suka sama tingkah laku Ike. Menurut pandangan mata Agnes, Ike itu terlalu berlebihan, omongannya ceplas ceplos kadang enggak mikir itu baik atau enggak sama berisik banget. Ya, walau Agnes akui Ike itu memang cantik, tapi lebih banyak manisnya.
Agnes mengusap punggung Ninin, seolah yang dihadapi Ninin itu berat banget, padahal itu juga karena ulahnya sendiri. Sementara Ninin masih dengan overthingkingnya yang membuat diri parno berlebihan dan berasa punya masalah yang berat banget.
***
Sepulang sekolah, Ninin nyatanya harus kumpul dulu karena ia mengikuti ekstrakulikuler bahasa inggris, jadinya pulangnya agak terlambat dari yang lain. Ia yang sudah menebak kalau ayahnya enggak jemput itu berganti menunggu angkutan umum. Ia berjalan hingga ke halte SMA Dwipati, sebab di halte sekolah itu biasanya para angkutan umum berhenti, sementara sekolahnya belum memiliki halte.
Sembari memeluk kamus bersampul baby pink, Ninin duduk di halte sembari melihat apakah masih ada angkutan umum yang lewat. Tapi, tak lama kemudian, ada sebuah motor tipe sport berwarna hijau yang berhenti tepat di depan Ninin. Cewek berkerudung segi empat berwarna putih itu sempat cuek karena ia pikir pasti seseorang berhelm teropong itu tengah menunggu orang lain. Namun, saat helm itu dibuka dan pemiliknya membetulkan rambut undercutnya itu, Ninin langsung memusatkan tatapan pada cowok yang sekarang tengah menatapnya.