Ketika tapak sepatu Kanima menginjak daun-daun kering yang menutupi permukaan jalan setapak itu, daun-daun yang berbisik di sela-sela batang bambu terdengar seperti nada-nada lembut yang membelai telinganya. Kanima memejamkan mata dan angin bertiup mengibarkan rambut di keningnya. Ingatlah, dia bukan untukmu, Kanima. Kata-kata itu kembali bergema dalam hatinya. Senyum getir merekah di bibir Kanima ketika kelopak matanya kembali terbuka.
Kanima belum lupa, di ujung jalan setapak ini seseorang yang telah ia relakan mungkin sedang bersama orang lain. Karena itulah ia memutuskan untuk berhenti dan berpikir sejenak, akan meneruskan langkah atau kembali. Ia menunduk, sepasang matanya menekuri daun-daun kering di ujung sepatu, lalu matanya terpaku pada sebutir kerikil. Bintang?
Kanima berjongkok lalu memungut kerikil itu. Benar, pikirnya. Kerikil itu memiliki ujung-ujung runcing, lima jumlahnya, seperti bintang. Ia kembali memejamkan mata dan mengenang malam yang bertabur bintang gemerlapan. Kepalanya sedang bersandar di bahu seseorang. Aroma teh melati, satu stoples biskuit rasa rempah, dan sebuah buku puisi di atas meja melengkapi saat paling membahagiakan dalam hidupnya itu.
"Rawatlah kenangan ini baik-baik dalam ingatanmu." Seseorang yang berada di sisi Kanima menyentuh rambut di keningnya dan berbisik, "Jangan pernah saling melupakan. Meski setelah ini kita harus..." Helaan napas panjang terdengar kemudian.
Kata-kata seseorang itu melahirkan segumpal haru dan menghadirkan tetes bening di sudut matanya. Kanima baru saja larut dalam kebahagiaan. Baginya, kebersamaan singkat itu sudah lebih dari cukup. Mimpi Kanima selama ini telah terwujud. Ia bersyukur sepenuh jiwa dan tak berani menginginkan lebih dari itu.
Lima tahun dalam penantian sungguh menyiksa. Kanima tak bisa jujur bahkan harus menyimpan isi hatinya rapat-rapat. Tak seorang pun boleh mengetahui hal itu. Selama itu pula ia berusaha menunjukkan kepedulian. Lelah, itulah yang ia rasakan ketika menyadari perasaannya mungkin takkan pernah bermuara. Kanima bahkan berpikir bahwa ia sedang menabur mimpi tanpa bisa berharap apa-apa. Namun, sekeras apa pun berjuang untuk mengingkari, ia justru semakin terikat dan tak mampu melepaskan diri dari hatinya.
Hari ini Kanima kembali menyusuri jalan pintas menuju rumah seseorang itu. Ia mengingkari janji yang pernah ia ucapkan. Sungguh tak mudah untuk melupakan perasaan bahagia saat berjalan di jalan setapak ini. Terlebih, rimbun bambu yang mengapit jalan ini sesekali muncul dalam mimpi Kanima, seolah memanggil kehadirannya.
Ketika membuka mata, Kanima tersentak. Kerikil di tangannya berpendar. Ia seperti menggenggam cahaya. Sesaat kemudian pendar itu melayang di udara, lalu melesat menuju ujung jalan setapak, tempat di mana seseorang yang ia rindukan berada.
"Aku pasti sedang bermimpi," desis Kanima. Ia mundur beberapa langkah dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seumur hidup, Kanima belum pernah melihat keajaiban semacam itu.
Keajaiban itu ternyata belum berhenti. Batang-batang bambu di kanan dan kiri jalan setapak bergoyang-goyang diterpa angin yang berembus kencang. Pendar kerikil dalam genggaman Kanima semakin terang. Sesaat kemudian, cahaya menyilaukan membungkus tubuh Kanima. Ia tak dapat melihat apa-apa. Saat Kanima menjerit, tubuhnya seolah terampas dan lenyap dari sekitarnya.