Ujung Jalan Setapak

Fitri Manalu
Chapter #3

Tiga: Kesempatan Kedua

Kanima menguap panjang. Pukul delapan. Ia bangun kesiangan. Saat mendengar suara rintik dari luar kamar, ia mendesah. Gerimis turun lagi. Dengan malas, ia beranjak dari pembaringan dan menyibak tirai jendela yang menghadap ke jalan. Kota kecil ini belum sepenuhnya terjaga.

Ia membuka jendela sedikit untuk menghirup aroma gerimis. Udara dingin membelai wajah Kanima. Hidungnya kembang kempis saat mencium aroma lain: roti kismis yang baru keluar dari panggangan. Perutnya meronta, semalaman ia membendung rasa lapar dengan beberapa cangkir teh melati tanpa gula. Sudah bertahun-tahun ia menghindari makan malam karena tak ingin lingkar pinggangnya cepat bertambah.

Saat menutup jendela Kanima sengaja membiarkan tirai tetap terbuka. Usai membasuh wajah dan menyikat gigi, ia meraih sweter cokelat muda di belakang pintu. Sembari menuruni tangga ia mengikat rambut ikal sepundak miliknya, lalu mematikan lampu yang masih menyala di lantai bawah. Setelah menghidupkan komputer dan memutar lagu, ia pergi ke toko roti di sebelah Buku Bercerita.

"Pagi, Nima," sambut Bibi Berta, pemilik toko roti itu. Keramahan pemilik toko roti yang memiliki sepasang lesung pipi itu menjadi daya tarik sendiri bagi para pelanggan, termasuk Kanima. Di sebelah Bibi Berta, Lucia, gadis yang sedang menyusun roti di atas nampan tersenyum ramah padanya.

"Pagi juga, Bi. Hai, Lucia." Kanima membalas keramahan mereka kemudian menunjuk roti kismis dalam etalase. "Bau sedap roti ini tercium sampai ke kamarku."

Bibi Berta tertawa. "Roti kesukaanmu. Mau beli berapa?"

"Dua, dan satu donat kacang." Ia berniat untuk sarapan lebih banyak hari ini. Mahanta akan datang petang nanti dan ia memerlukan energi lebih untuk bertemu dengan pemuda itu.

Lucia membungkus pesanan Kanima dan menyebutkan sejumlah uang yang harus dibayarkan. Setelah memberikan uang itu, Kanima berbincang sejenak dengan Bibi Berta. Perempuan paruh baya itu sudah lama hidup sendiri. Suaminya pergi demi perempuan lain yang mewarisi sejumlah besar harta. Seingat Kanima, sudah dua kali Bibi Berta menceritakan hal itu ketika ia membeli roti. Saat bercerita, sorot mata perempuan itu seolah ikut menuturkan rasa sepi dalam tahun-tahun kehidupannya.

Kanima kembali dengan perasaan datar dan berhenti sejenak di depan toko buku untuk mengamati deretan sri rezeki kesayangannya. Tanaman-tanaman itu tak tersentuh gerimis. Sehabis sarapan nanti, ia berencana untuk menyirami semua tanaman itu.

Saat masuk ke dalam toko buku, Kanima meletakkan roti di atas meja. Cahaya berlomba masuk ketika ia menyibakkan tirai dua jendela besar yang mengapit pintu masuk. Setelah menyalakan teko listrik di pantri yang terletak di bagian belakang toko buku, ia mengunyah roti perlahan sambil mendengarkan lagu balada dari komputer.

Dulu, ia sering mendengar lagu dari radio sambil bercakap-cakap dengan seorang pemuda saat mereka pulang bekerja. Pemuda itu memiliki pembawaan tenang dan memiliki banyak hal untuk diceritakan, termasuk hal-hal yang tak terpikirkan oleh Kanima. Karena itu, ia sering merasa terpukau sekaligus tertinggal hingga dua langkah. Perkataan pemuda itu mampu membuka matanya untuk melihat permasalahan dari sisi yang berbeda.

Kanima menghela napas lalu menuju pantri untuk minum secangkir air hangat. Pantri itu terletak di bagian belakang toko buku dan berdekatan dengan toilet pengunjung. Saat kembali duduk di belakang meja dan mengunyah roti kedua, kenangan dari masa kanak-kanak Kanima datang bertamu. Kala itu, ia masih berumur dua belas tahun.

Dari awal, orangtua ayah Kanima memang menginginkan putra mereka menikah dengan perempuan yang sepadan, bukan dengan ibunya yang berasal dari keluarga miskin. Walaupun ditentang oleh seluruh keluarga, cinta membuat ayah Kanima nekat untuk kawin lari. Bertahun-tahun kemudian, ayahnya yang biasa hidup berkecukupan akhirnya menyerah kalah. Beban untuk menafkahi keluarga kecil mereka kemudian berpindah pada ibunya.

Pengorbanan ibu Kanima ternyata menuai kesia-siaan. Ayahnya pergi pada suatu malam dan tak pernah kembali. Ibunya mengatakan bahwa ayahnya lebih memilih kehidupan yang mapan. Sejak itu pula, ibu Kanima berubah. Perempuan yang selalu tampil sederhana dan bertutur lembut itu sering uring-uringan. Beberapa bulan kemudian, Kanima menemukan kosmetik dan alat-alat kecantikan baru di kamar ibunya, termasuk cat kuku yang diam-diam sering ia coba.

Lihat selengkapnya