Ujung Tombak

Aizawa
Chapter #1

Bab 1. Belah Saja Diriku

Lelaki berumur 35-an turun dari kendaraan roda dua berpelat merah, lalu masuk ke dalam rumah sederhana tipe tiga enam yang sudah direnovasi di beberapa bagian. Perempuan lebih muda berusia tak terpaut jauh, menyambut dengan segelas air putih, memberikannya pada lelaki yang telah duduk di kursi meja makan.

“Lapar, Yah?” tanya istrinya. Wanita itu ikut duduk di kursi sebelah lelaki yang terpancar kelelahan di wajahnya.

Lelaki itu menggeleng setelah menenggak habis air yang tadi disediakan. “Sangat kenyang, begah rasanya perut aku,” lanjutnya sambil menepuk-nepuk pelan perutnya.

“Pasti makan tempat petani lagi. Ihh, Ayah malu-malukan saja,” tebak sang istri.

“Ya namanya juga ditawari, kebetulan lapar, ya makan. Eh, pas ke rumah kades juga diajak makan. Ke rumah ketua kelompok, ditawari lagi. Jadinya makan lagi. Kekenyangan Ayah. Sampe tadi ada yang nawari lagi, Ayah tolak karena sudah tak sanggup.”

“Ayah itu ya, sering makan di rumah kades, sering juga di rumah petani, tapi tidak pernah bawa apa-apa. Kan, tidak enak jadinya.”

“Ya mau bagaimana lagi, Bun, Ayah cuma lewat sambil motoran pelan di jalan, tiba-tiba dipanggil dari jauh, ‘Yooo, mampir dulu. Ai sombong nian tak nak mampir’, jadinya Ayah mampir dulu, Bun. Nanti disangka sombong betulan. Lagi pula rezeki namanya, sayang kalau ditolak.” Lelaki berperawakan sedang itu terkekeh.

“Yee …, sesekali bawakan apa, belikan sesuatu apa lah misalnya. Atau sekedar kasih uang jajan ke anaknya yang masih kecil pas mau balik. Tak enak lah terus-terusan numpang makan.”

“Iya, iya. Lain kali.”

Lelaki dengan nametag Ario Kesuma yang terpampang di sebelah kanan seragamnya, bangkit dari kursi lalu berjalan ke kamar, membuka baju dan menggantungnya di belakang pintu. Lantas menjatuhkan badannya di kasur.

“Yaaahhh, mandi dulu apa?” teriak perempuan berdaster selutut tanpa lengan dari arah dapur, yang melihat melalui pintu terbuka menembus dari ruang tengah ke kamar. Kemudian ia mendekat dan masuk kamar. “Ayah itu bau matahari campur keringat ples debu. Trus baju ini, ‘kan, sudah kotor, jangan digantung tapi langsung masukkan ke tempat kotor,” lanjut perempuan berpipi tembam sambil mengambil seragam kerja suaminya.

“Ah, macam Bunda wangi saja,” protes Ario sambil bangkit dari pembaringan, lalu duduk di tepi ranjang.

“Wangi lah. Nih.” Perempuan itu mendekatkan kepalanya kepada Ario.

Ario mengendus rambut istrinya, “Ehm, harum. Tapi … wanginya lain. Baru beli, Bun?”

“Tadi ada tetangga yang datang ke rumah menawarkan. Katanya produk buatan sendiri, kerja sama dengan kawannya. Industri rumah tangga, Yah, jadinya Bunda beli. Sekalian sama sabun cair buat cuci baju dan cuci piring. Harganya lebih murah dari pasaran. Itung-itung bantu tetangga juga.”

Lihat selengkapnya