“Jadi ke lapangan lagi hari ini, Yah?” Nara yang sedang menyeduh air panas ke dalam teko berisi teh, melihat Ario muncul dengan wajah mengantuk.
“Sepertinya tidak jadi, Bun.” Ario menutup mulutnya yang menguap lebar. “Hari ini mau menyelesaikan RDKK yang kemarin diminta. Semalam sudah tidak sanggup setelah menyelesaikan laporan bulanan,” lanjutnya sambil mencentong nasi goreng yang ada di mangkuk besar, lalu memasukkannya ke piring.
“Yah, janji ya hari ini buat PR sekolah sama Ayah. Kemarin tidak jadi, hari ini harus sama Ayah. Pokoknya janji.” Akio bicara sambil mengunyah disertai remah-remahan nasi yang keluar dari mulutnya.
Ario yang mulutnya sedang berisi, menjawab dengan anggukan serta menautkan jari jempol dan telunjuk tangan kirinya membentuk huruf O.
“Iki juga, mau main sama Ayah lagi.” Daiki yang duduk di lantai sambil bermain mobil-mobilan menimpali.
“Iya, nanti sore main sama Ayah, tapi sekarang makan dulu ya, aaak ….” Nara berjongkok dan membuka mulutnya agar Daiki meniru. Satu suapan masuk ke mulut bocah lima tahun itu. “Duduk di atas saja, yok, dekat Kak Akio.”
“Tidak ah, dekat Kak Akio. Mau dekat Ayah saja.” Daiki bangkit membawa mainannya, lalu menaiki kursi di sebelah kanan ayahnya.
***
Matahari bersinar malu-malu pagi ini, setelah semalaman kompleks perumahan tempat Ario tinggal diguyur hujan deras. Ario melajukan motor yang dinaikinya dengan kecepatan sedang menuju wilayah binaan.
Untuk sampai ke Desa Perangai—wilayah binaannya—dibutuhkan waktu setidaknya satu setengah hingga dua jam perjalanan dari tempat tinggal Ario. Sedikitnya dua kelurahan dan empat desa di kecamatan yang sama, serta tiga belas desa dari kecamatan tetangga yang mesti lelaki berperawakan sedang itu lewati, dengan desa terakhir yang dilewati adalah Desa Telatang di Kecamatan Merapi Barat.