Umah Lugu

Aniqul Umam
Chapter #2

Untuk Suamiku

Bunyi alarm di ponsel membuat Sinta terbangun dari tidurnya. Dia segera mengambil ponselnya. Ia gerakkan ujung jempol tangan kanannya ke kanan untuk mematikan fungsi alarm. Jam di ponsel menunujukkan pukul 03.00 WIB. Ia menoleh ke arah suaminya. Dilihatnya bekas air mata yang sudah agak mengering dari ujung mata hingga telinganya. Lalu ia usap jejak air mata itu dengan jemari lembutnya. Perlahan dia mengusap sambil terus menatap dalam wajah suaminya. Ia tak kuasa membendung air mata yang telah menggenangi kelopak matanya.

“Maafkan istrimu ini mas, belum bisa sepenuhnya bersikap selaknya istri yang kau harapkan. Terima kasih atas semua jerih payahmu selama ini untuk memberi yang terbaik untukku.” Gumam sinta dalam hati.

Dengan sangat hati-hati, Sinta beranjak dari tempat tidurnya. Sebisa mungkin ia bergerak tanpa menimbulkan suara. Perlahan ia putar gagang pintu kamarnya. Sesekali ia menoleh ke arah suaminya. Memastikan ia tidak mengganggu tidur lelap sang suami. Namun, engsel pintu yang sudah berkarat mengeluarkan bunyi cukup nyaring di malam yang sunyi, ”kreetttt..”. Ia kembali menoleh ke arah sang suami. “Alhamdulillah..” ucapnya dalam hati sembari menghela nafas lega. Ternyata suara engsel tidak mengganggu tidur suaminya.

Ia segera menuju kamar mandi. Diraihnya sebuah ember cat tembok bekas yang di salah satu sisinya diberi lubang. Lubang itu ditutup dengan irisan karet kecil dari bekas sandal jepit. Kemudian ia isi wadah tersebut dengan air secukupnya. Ia buka tutupnya, lalu memancurlah air yang akan ia gunakan untuk berwudhu.

Di musim kemarau seperti ini, berwudhu dengan wadah yang dilubangi merupakani salah satu cara bagi Sinta dan suami untuk menghemat cadangan air. Di sisi lain, wadah ini menjadi pengganti kran yang sangat efektif. Hampir tidak mungkin bagi Sinta untuk berharap air mengalir dari kran di saat sepert ini. Volume bak kamar mandi yang sedikit, membuatnya tidak dapat mengambil air langsung untuk berwudhu. Dia ingat salah satu syarat air yang digunakan untuk berwudhu yaitu memiliki volume minimal dua qullah, atau 60x60x60 jika dikonversi dalam ukuran centimeter.

Tepat saat air wudhu pada basuhan pertama membasahi wajah Sinta, rasa sejuk ia rasakan. Bukan hanya pada wajahnya, akan tetapi juga pada hatinya. Risau dan pilu yang sebelumnya ia rasakan perlahan berubah menjadi ketenangan. Rasa tenang itu kian menetap selaras dengan basuhan demi basuhan yang ia lakukan. Ketika itu juga ia memantapkan hatinya bahwa inilah saat yang tepat untuk bersimpuh di hadapan-Nya.

Setelah selesai berwudhu, Sinta bergegas menuju salah satu kamar yang difungsikan sebagai mushalla di kontrakannya. Terlihat dua buah sajadah dalam posisi shaf imam dan makmum dalam shalat. Sajadah berwarna merah masih membentang ke arah kiblat. Sajadah itulah yang digunakan oleh Khairul Umam, suaminya. Sedangkan sajadah yang biasa ia gunakan, masih dalam kondisi terlipat bersama mukena di dalamnya. Ia buka lipatan sajadahnya, lalu ia kenakan mukena dengan menyebut nama Dzat yang maha pengasih dan maha penyayang.

****

Sinta melihat ke arah jam dinding di belakangnya. Ia baru menyadari bahwa jarum jam telah menunjukkan pukul 17.00. Ini sudah setengah jam melebihi jam kerjanya. Harusnya ia sudah berada di shelter menunggu bus terakhir menuju kontrakannya. Sinta pun segera mengemasi barangnya dan memutuskan untuk menyelesaika pekerjaannya besok. Ia tak mau mengambil resiko ketinggalan bus. Baginya, bus adalah satu-satunya kendaraan umum yang mungkin ia jangkau. Gajinya yang masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR), membuatnya berpikir berkali-kali untuk sekedar naik ojek online apalagi taksi.

Dengan tergesa-gesa ia keluar dari workshop tempatnya bekerja. Ia percepat langkahnya. Seandainya saja saat itu ia mengenakan celana panjang, mungkin ia akan berlari. Tapi apalah daya, setelan gamis yang melekat di tubuhnya berkata sebaliknya. Jarak dari tempat kerjanya menuju shelter tinggal beberapa ratus meter lagi. Ia terus mempercepat langkahnya agar segera sampai di shelter yang sudah mulai terlihat oleh matanya. Barulah ia hentikan langkah kakinya saat ia tiba tepat di seberang shelter yang ia tuju. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada kendaraan yang melintas. Tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju kencang dari arah kiri dan, “Byurr..” Genangan air yang berada tidak jauh di depan Sinta seakan disiramkan kepadanya. Ia mematung sesaat dan tidak tahu lagi harus berbuat apa. Pikirannya kacau. Perasaaan malu, marah, sedih bercampur di hatinya.

Di seberang jalan, terlihat bus berwarna merah berhenti tepat di depan shelter. Sinta bergegas menuju tempat bus itu berhenti. Ia abaikan segala persaannya. “Yang penting bisa naik bus, malu urusan belakangan.” Gumamnya dalam hati. Berkat langkah cepatnya, ia berhasil mendapatkan tumpangan di bus idamanya. Walaupun harus berdiri, hatinya tetap merasa lega. Sampai ia menyadari, hampir semua mata menatapnya. Ia kembali sadar, bajunya basah kuyup. Kini perasaan malu mendominasi isi hatinya. Segera ia mengambil ponsel di dalam tasnya. Ia terus menatapi layar ponsel mangalihkan pandangan dan rasa malunya dari beberapa pasang mata yang masih memperhatikannya. Ia kirimkan pesan Whatsapp ke suaminya.

(Mas jemput aku di tempat biasa…)

Lihat selengkapnya