Pagi ini Zaenal Abidin tidak terburu-buru untuk membuka toko kelontongnya. Ia lebih memilih duduk tenang di ruang tamu, menikmati pagi ditemani secangkir teh hangat yang ia racik sendiri. Sesekali ia melihat layar telepon seluler miliknya. Barangkali ada pesan yang belum terbaca atau panggilan yang tidak terjawab dari putrinya. Ia masih menunggu bagaimana jawaban atas permintaan yang ia sampaikan pada putrinya semalam.
Apapun jawaban yang akan ia dapatkan dari putrinya akan ia terima. Paling tidak, perasaanya lega setelah mengungkapkan keinginan yang telah lama ia pendam. Zaenal berencana untuk menyerahkan rumah dan toko kelontong yang saat ini ia tempati kepada Sinta, putrinya. Dari tiga anaknya, Sintalah yang paling dominan mewarisi bakat berdagang dari ibunya. Dengan bakat dagang yang dimiliki Sinta, Zaenal berharap putrinya dapat mengembalikan kejayaan toko kelontong miliknya. Ia juga pernah mendapat nasehat dari seseorang untuk memberikan Umah Lugu kepada anak perempuannya. Orang tersebut beranggapan, bahwa anak perempuanlah yang kelak akan memberikan kasih sayang serta perhatian lebih kepada orang tua. Begitulah beberapa hal yang menjadi pertimbangan bagi Zaenal untuk memberikan Umah Lugu kepada putrinya.
Zaenal merasa telah mempunyai alasan yang kuat untuk meyakinkan Sinta dan suaminya menempati Umah Lugu. Setelah ia melaksanakan pernikahan dengan perempuan pilihannya, Zaenal akan pindah ke rumah istri barunya. Itulah yang menjadi syarat dari keluarga calon istrinya tersebut. Alasannya sederhana, agar kelak tidak menjadi beban bagi anak-anak Zaenal. Dengan begitu, Sinta tidak perlu khawatir suaminya akan merasa tidak nyaman hidup bersama ayah mertua. Selain itu, Zaenal berharap kondisi ekonomi Sinta dan suaminya akan membaik.
Zaenal masih juga menunggu telepon dari putrinya. Pelan-pelan ia teguk teh hangat di depannya. Ia kembali melihat layar telepon. Belum ada tanda-tanda panggilan atau pesan yang masuk. Ia maulai berpikir mungkin Sinta belum bisa memberikan jawaban pagi ini. “Apa mungkin masih sulit bagi Umam untuk memutuskan hal ini? Bukankah akan lebih baik kalau tinggal berdua disini, nggak usah bayar kontrakan, ada usaha yang bisa dikembangkan, lebih dekat dengan orang tua. Entahlah... yang penting, sebagai orang tua aku berusaha memberikan yang terbaik, apapun keputusannya, itu sepenuhnya menjadi hak dan tanggungjawab mereka.” Gumam Zaenal dalam hati.
Karena waktu sudah menunjukan pukul 06.30, Zaenal beranjak dari tempat duduknya. Kemudian ia berjalan menuju pintu toko dan perlahan membuka gembok yang mengunci dibawah gagang pintu. Baru saja ia memegang gembok tersebut, ponselnya berbunyi sangat nyaring. Segera ia kembali ke ruang tamu. Ia raih ponsel yang masih berbunyi itu. Benar saja ada panggilan masuk dari Sinta. Ia berusaha menenangkan hatinya. Ia tidak mau terkesan gugup saat menerima telepon dari putrinya. Setelah nada dering di ponselnya terulang dua kali, barulah ia menekan tombol untuk menerima panggilan itu.
“Halo, Assalamualaikum Nok Ayu..,” Sapa Zaenal dengan senyum di wajahnya.
“Nggih bah, Walaikumsalam. Anu bah, yang masalah tadi malam,” Sinta memulai percakapan.
“Owh itu..terus bagiamana? Sudah ada keputusan dari Mas Umam?
“Alhamdulillah bah.. semalam pesan Abah sudah tak sampaikan ke Mas Umam.. setelah kami bermusyawrah, dengan mempertimbangkan beberapa hal, Akhirnya baru tadi pagi dia memberi keputusan.”
“Keputusannya bagaimana?, Zaenal memotong penjelasan putrinya, pertanda ia mulai tidak sabar untuk mengetahui apa keputusan Sinta dan suaminya.
“Iya bah, Mas Umam Setuju, Tapi nggak bisa dalam minggu ini bah. Kami minta waktu satu bulan untuk menyelesaikan semua urusan yang ada di sini. Kalau Abah setuju, berarti pernikahan Abah juga harus mundur satu bulan lagi, gimana bah?”
“Alhamdulillah, Iya nggak papa. Kalau masalah pernikahan Abah masih bisa diatur. Kalau memang keputusannya begitu, Abah lega nok. Jadi Abah tidak perlu lagi mencari siapa yang mau melanjutkan toko.”
“Iya bah, do’akan ya bah.. semoga Aku sama Mas Umam bisa mengemban amanah dari Abah ini.”
“Insyaa Allah nok, tanpa kamu minta pun do’a Abah selalu menyertai anak-anak Abah.”
“Amiin... terima kasih ya bah.. Abah jaga kesehatan, jangan terlalu capek.. Sudah sarapan belum bah?”