Umah Lugu

Aniqul Umam
Chapter #4

ATM

Sebuah mobil minibus telah terparkir di depan rumah kontrakan. Warnanya yang nampak memudar menggambarkan betapa panjang perjalanan yang telah dilalui mobil dan pemilikya. Pintu bagian belakangnya terbuka. Semua bangku di kabin belakang telah dicopot. Isi kabin penuh dengan perabot alakadarnya yang kami miliki. Karpet, baju, buku, sepatu, sandal, pakaian, hingga peralatan masak bercampur jadi satu. Baran-barang itu sesak mengisi hampir seluruh isi kabin mobil. Seandainya mereka manusia, mungkin mereka sudah mati sesak nafas.

Apa boleh buat, kendala dana yang tidak dapat kami pecahkan, membuat kami harus merepotkan Abah. Beliau rela meluangkan waktu, biaya dan tenaga untuk menjemput kami dengan mobil tuanya. Sebenarnya, aku malu sekaligus tidak enak sama Abah. Tapi apalah daya, kedaan yang memaksaku menerima tawaran penjemputan ini. Nampaknya Abah cukup mudah untuk menyadari kondisi kami yang terhimpit masalah dana. Bagaimana tidak, sampai H-1 keberangkatan kami tidak bisa menjawab saat beliau bertanya perihal alat transportasi yang akan kami gunakan. Belum sempat kami mencari alasan, Abah langsung menwarkan diri untuk menjemput kami.

Selain Abah, satu hal yang tidak terduga lagi ialah tetangga. Di lingkungan perumahan ini, kami tergolong warga yang jarang nyrawung dengan tetangga. Akan tetapi, saat mengetahui mobil abah telah terparkir di depan kontrakan, mereka berbondong-bondong menwarkan bantuan. Bahkan, ada salah satu dari mereka yang sengaja tidak masuk kerja agar bisa ikut membantu, namanya Junaidi. Orang-orang disini biasa memanggilnya dengan nama Pak Juned. Dialah tetangga yang paling sering berinteraksi denganku. Kebetulan kami masuk dalam jadwal ronda yang sama, sehingga seringkali kami bertukar cerita untuk mengisi waktu menunggu habisnya jam ronda. Dia yang pertama kali menawarkan bantuan, disusul tetangga lainnya. Pada saat itu juga aku sangat bersyukur mempunyai tetangga yang baik pada kami. Satu anugerah dari Allah yang mungkin sering aku lupakan.

Setelah kami siap untuk berangkat, tibalah saat-saat yang mengharukan. Satu per satu ibu-ibu yang tengah menunggu, memberikan pelukan perpisahan pada istriku. Untaian permohonan maaf terucap mengiringi linangan air mata di pipi. Aku sekuat tenaga menutupi rasa haru itu. Senyum kecil tetap aku usahakan terukir di wajahku. Bagaimanapun aku harus bisa menunjukkan kesan akhir yang baik.

Saat istriku membuka pintu mobil, tiba-tiba dari arah belakang ada seorang anak kecil yang memeluk erat istriku. Ia menangis sejadi-jadinya. Jemarinya mencengkeram kuat pada baju yang istriku kenakan. Air mata deras mengalir di pipinya. “Bu Sinta jangan pergi..!” kalimat itu terdengar beberapa kali terulang dari mulutnya. Tangisnya semakin lama semakin menjadi. 

Istriku berbalik memeluknya. Perlahan ia usap rambut anak tersebut. Kemudia ia tatap wajahnya. Dengan nada lemah lembut, ia mencoba menenangkan anak itu.

“Kok kevin nangis, anak laki-laki kan nggak boleh cengeng..”

“Bu Sinta jangan pergi… !” kalimat itu kembali terulang, namun kali ini dengan nada yang lirih.

“Sebenarnya juga Bu Sinta juga nggak pengin jauh dari Kevin, tapi Ayahnya Bu Sinta menyuruh Bu Sinta pulang ke kampong, jadi ya harus pulang.. kan anak harus patuh sama orang tua.” Perlahan istriku memberi penjelasan.

“Walapun Bu Sinta jauh, kan Kevin masih bisa video call… jadi Bu Sinta tetep bisa lihat wajah kevin yang ngganteng.” Bujuk istriku.

“Janji ya bu…,” Ucap anak itu pertanda bujukan istriku membuahkan hasil.

Lihat selengkapnya