Menjalani hidup itu layaknya berkendara. Kadang melewati jalan yang mulus tapi berkelok, jalan yang lurus tapi rusak, ada tikungan, tanjakan dan tidak jarang kita menjumpai jalan berlubang. Sebuah keadaan yang mungkin berbeda dengan yang kita harapkan. Belum lagi kita menjumpai pengguna jalan yang seenaknya sendiri. Dari pengendara ugal-ugalan, cabe-cabean bonceng tiga, emak-emak sen kiri belok kanan, kendaran umum berhenti mendadak dan hal-hal sejenis yang membuat kita geleng-geleng kepala. Begitu juga kehidupan, banyak harapan-harapan dan rencana kita yang berbeda atau bahkan bertolak belakang dengan kenyataan.
Perbedaan antara harapan dan kenyataan itulah yang sering kali memaksa kita untuk mengambil keputusan cepat dan tepat agar kita tidak mengalami kecelakaan dalam berkendara menjalani kehidupan. Sayangnya, pilihan di jalan itu tidak melulu tentang belok kiri atau kanan. Terkadang kita harus memilih antara bertabrakan dengan pengendara lain atau menabrak pohon di tepi jalan. Dua pilihan yang sama sekali tidak kita harapkan, tapi kita harus memilih salah satunya dan apapun itu bukanlah menjadi masalah asal kita bertanggung jawab atas apa yang kita pilih.
Mungkin keadaan seperti itulah yang sedang aku hadapi saat ini. Berhadapan dengan dua pilihan yang resikonya sama-sama tidak aku harapkan. Pilihan yang benar-benar akan merubah alur, ritme bahkan arah tujuanku berkendara menjalani hidup ini. Pilihan yang datang tanpa diduga tanpa dinyana seperti tukang parkir yang tiba-tiba ada di belakang kendaraan kita mengarahkan kanan, kiri, maju, mundur sesuai sudut pandangnya dan meminta uang atas jasa yang kita tidak pernah memintanya.
Berawal dari sebuah bunyi nada dering ponsel istriku yang tergletak di kamar.
“Halo, assalamualaikum bah, pripun?” suara istriku pelan menjawab panggilan yang ternyata dari abahnya. Aku yang sedang asik menikmati tayangan film di salah satu stasiun televisi swasta tidak mendengar apa kelanjutan isi percakapan antara ayah dan anak perempuannya. Begitulah sifat bawaan kebanyakan kaum adam. Saat fokus pada suatu hal, dia cenderung mengabaikan hal lain , termasuk panggilan istri yang meminta bantuan dari dapur. Beruntung istriku sudah sedikit mendapat pengetahuan ini dari sebuah video berdurasi dua jam lebih sedikit yang berisi penjelasan perbedaan mendasar sifat genetis laki-laki dan perempuan. Kami menonton video tersebut saat malam pertama dengan maksud untuk tambahan amunisi ilmu rumah tangga. Tak heran jika istriku sering memaklumi sifat-sifat bawaanku yang ternyata bisa menjadi sumber pertengkaran kecil, walaupun tidak jarang juga ia ngambek saat aku tak kunjung datang ketika ia memanggilku beberapa kali.
Begitulah adanya laki-laki diciptakan. Tuhan membekalinya daya fokus yang tinggi agar saat ia harus menjadi supir di kendaraan yang bernama keluarga, ia mampu fokus membawa orang-orang yang ada dalam kendaraan itu menuju arah yang dikehendaki-Nya. Beda halnya dengan kaum hawa. Ia dibekali dengan ketrampilan multi tasking atau melakukan banyak hal secara bersamaan. Misalnya saja memasak sambil cuci piring, atau cuci baju sambil ngintip status orang di medsos dan banyak lagi sambil-sambil lain yang hanya dapat dilakukan oleh perempuan. Ketrampilan inilah yang akan ia gunakan untuk melengkapi kekurangan sang pasangan hidupnya.
“Mas.. Mas… “ terdengar seperti suara istriku memanggil. “Mas..!!!” panggil istriku dengan nada meninggi. Secepat kilat aku beranjak dari depan TV berbalik arah mengahadap istriku yang ternyata sudah berdiri tepat di belakangku.
“Iya yaang… maaf tadi nggak denger, kalah sama suara TV.” Jawabku sambil meluruskan posisi sarung yang agak miring. “Kebiasaan deh… gak denger gimana coba?? dari tadi adek manggil udah lebih dari lima kali lho” Sahut istriku dengan nada sebal. “Iya sayaang, maafin mas ya..” “Minta maafnya nanti lagi aja, ada yang mau aku omongin.” “Masalah apa yang? Abah?” tanyaku penasaran dengan apa yang ingin istriku bicarakan.
“Iya mas, tapi matiin dulu TVnya, kita omongin di kamar aja” sahut istriku sembari berbalik badan dan berjalan menuju kamar.
“Oke sayaang” jawabku menutupi rasa ingin tahu yang memenuhi isi kepalaku. Segera kumatikan televisi dan langsung berjalan menuju ke kamar dengan agak terburu-buru agar istriku tidak terlalu lama menunggu.
Terlihat istriku sudah nyaman di atas kasur lipat tipis yang dibalut sprei warna merah marun bermotif sepasang merpati dan beberapa rangkaian bunga. Kakinya terlentang dengan kepala di atas bantal. Beberapa kali ia terlihat mengubah posisi tangannya. Rasa gelisah yang terlihat jelas di wajahnya semakin membuat pikiranku penuh sesak dengan berbagai pertanyaan.
Tepat di sebelah bantal yang digunakan istriku, ada sebuah bantal yang ia siapkan untukku. Tanpa berpikir panjang, aku memosisikan tubuhku di sebelah istriku. Aku menatap wajahnya, pertanda aku sudah siap menjadi pendengar setia dari apapun yang akan ia bicarakan. Kami meyebut posisi ini dengan istilah pillow talk, sebuah istilah yang istriku dapatkan dari sebuah artikel di dunia maya. Artikel itu memberikan tips bagaimana cara berdiskusi yang baik dengan pasangan. Salah satu tipsnya ialah dengan pillow talk di malam hari.