Siang selepas Zuhur, Arka dan Reva berjalan pulang sekolah bersama. Mendadak sebuah mobil mini bus berhenti di dekat mereka. Tiga orang lelaki bertopeng berloncatan keluar dari dua pintu mobil yang tiba-tiba terbuka. Seorang lelaki langsung menyerang Arka; menghajar bahu dan tengkuknya. Arka terhuyung. Sempat dilihatnya Reva untuk terakhir kali. Kelompok penyerang tak dikenal itu membawa pergi Reva dengan paksa, sebelum akhirnya Arka terjajar ke beton trotoar. Roboh. Pingsan.
Saat tersadar, Arka mulai bisa mengingat semua kejadian. Ketika mengingat Reva, Arka sangat khawatir. Tidak berlebihan, sebab perasaan itu timbul karena Reva sahabat terbaiknya.
Mereka selalu kompak dan akrab. Tumbuh besar bersama hampir satu dasawarsa. Kedekatan Arka dan Reva dimulai dari panti asuhan. Mereka memang tidak tinggal di panti. Arka dan Reva telah merasakan adanya ikatan emosional. Justru Arka malah mulai merasakan adanya perasaan lebih dari menyayangi. Entah apa itu namanya, selain cinta? Arka belum pernah merasakan sebelumnya, perasaan kehilangan begitu mendalam pada sosok Reva.
Arka terkadang mengandaikan hubungan mereka bisa berubah. Dari persahabatan menjadi kekasih, layaknya seperti cerita di sinetron atau flim yang sering terulang, dengan bumbu yang berbeda. Mungkin bisa jadi kisah mereka akan sangat berbeda dengan kisah yang pernah ada sebelumnya.
Kehilangan itu menyakitkan sekaligus menyedihkan buat Arka. Ia belum pernah mengalami sebelumnya, selama hampir delapan belas tahun usianya. Sedihnya, sejak penculikan itu, ia berfirasat, bahwa ia akan lama kehilangan Reva. Atau bahkan tak akan jumpa lagi dengannya. Ah, mudah-mudahan firasatku menipu, kata hatinya.
Hari berganti hari. Belum ada tanda-tanda Reva akan ditemukan. Tak ada komunikasi dengan orang yang membawa Reva. Kedua orang tuanya belum dihubungi dengan seseorang yang menyandera Reva. Penculikan itu masih gelap motifnya. Satu hari setelah Reva menghilang, orang tuanya, Pak dan Bu Harfan sudah melapor ke polisi. Arka sebagai saksi utama juga sudah dimintai keterangan. Pra rekontruksi kejadian juga sudah dilakukan di TKP. Untuk menguatkan penyidikan.
Penculikan Reva menjadi perhatian khusus di kepolisian kota setempat. Mengingat kejadian ini untuk yang kedua kalinya menimpa Reva. Dan semua yang terkait dengan hilangnya Reva kali ini sudah ditangani oleh pihak berwajib secara serius.
Pra penyidikan diadakan semacam rekontruksi peristiwanya atau olah TKP. Di TKP itu, Arka menjadi trauma mengenang kejadiannya. Bagaikan merajut benang ingatan yang terputus-putus, yang kemudian memicu kesedihan. Saat terakhir yang diingat tentang Reva adalah ketika pandangannya kabur. Lalu sekilas melihat Reva dipaksa masuk ke dalam mobil. Sayang sekali moment krusial yang sangat penting untuk kunci bahan penyidikan itu belum sepenuhnya tercatat dalam ingatannya; wajah para penculik atau nomor mobil mereka. Tetapi ia punya keyakinan, penculik akan tertangkap. Entah bagaimana caranya, ia yakin akan hal itu.
Di hari ke empat setelah menghilangnya Reva. Sepulang sekolah ada dua orang dari kepolisian menjemput Arka. Mereka membawanya ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lanjutan, setelah sebelumnya telah dilakukan di pra rekontruksi. Meskipun tanya jawab berlangsung dalam suasana santai dan tak ada tekanan, namun Arka menangkap, penyidikan ini berhubungan dengan kehidupannya di jalanan. Arka meyakini penyidik mendapatkan temuan baru dalam penyelidikan mereka lebih lanjut. Atau mungkin sedang mencari seseorang yang pantas untuk dicurigai sebagai tersangka dalam penculikan Reva.
“Sejak kapan kamu mulai hidup di jalanan?” tanya seorang penyidik yang telah membawa ‘CV’ Arka sepanjang kiprahnya hidup di jalanan.
Ingatan Arka tak pasti dan ia tak punya catatan harian tentang awal atau akhir bagian perjalanan hidupnya.
“Saya tak ingat. Tapi yang pasti sejak saya tak bisa menemukan apapun di rumah yang bisa kami jual untuk mengisi perut kami yang lapar,” Arka menjawab apa adanya.
Penyidik mengamati lembar catatan.
“Tapi kamu ‘kan cuma hidup berdua dengan nenekmu, sedangkan nenekmu biasa berjualan?” Pertanyaan itu menggelikan menurut Arka. Itu jelas mengabaikan aspek perekonomian keluarganya. Kehidupannya waktu itu sungguh memprihatinkan; melarat dan neneknya rentan mendapatkan penghasilan dari berdagang ngasong.
“Nenek sakit. Seminggu tak berjualan. Umur saya menjelang tujuh tahun. Nyaris dua hari perut saya tak terisi makanan. Dan tak satu pun orang peduli keadaan kami.”
“Jadi ke jalan dari umur tujuh tahun? Cukup banyak pengalaman yang kamu dapat dari sana ‘kan?”
Arka berpikir, pertanyaannya itu mulai mengarah ke sudut analisa sebuah motif. Ia harus hati-hati menjawab.