Aku menggaruk tangan kiriku yang tidak gatal. Di depanku saat ini tengah duduk Baskara dengan ditemani seorang wanita paruh baya, dari pin nama yang bertengger di dada kirinya aku dapat mengetahui bahwa ia bernama Saraswati. Mereka berdua mengenakan setelan berwarna biru kelasi, cukup kontras dengan nuansa putih yang mendominasi bangsal ini. Selain setelan yang mereka berdua kenakan, satu-satunya hal berwarna lainnya yang berada di ruangan ini adalah meja besi bulat abu-abu yang senantiasa tampak dingin dan membosankan, yang saat ini menjadi pemisah antara diriku dan dua orang di hadapanku.
Kami bertiga duduk dalam keheningan yang kami ciptakan, tak ada sepatah kata pun yang terucap selama tiga puluh menit terakhir, aku diam, Baskara diam, wanita itu diam, kami semua diam, sibuk dengan gejolak pikiran kami masing-masing. Baskara dan wanita paruh baya itu terlihat begitu teguh, mereka nampak terlatih dengan permainan adu diam ini, satu-satunya pertanda hidup dari mereka berdua adalah bola mata yang terkadang bergerak tak tentu arah—seperti kerjap lampu senter yang dibawa lari terburu-buru oleh si empunya. Bahkan, dada mereka pun nampak tak begitu mengisyaratkan gerakan naik-turun khas manusia saat bernapas, kupikir mereka bernapas melalui kulit, makanya tak ada tanda-tanda pergerakan apa pun di rongga dada keduanya. Mereka berdua nampak begitu dingin, seperti tiang listrik yang dihujani embun dini hari, begitu kaku, begitu angkuh, begitu tak bernyawa.
Aku mulai bergerak resah di kursiku, apakah aku akan kalah dalam permainan konyol ini? Sekali lagi, aku menggaruk tangan kiriku yang tidak gatal, menggaruknya dengan sedikit keras hingga kulitku terasa pedih. Sebelum tangan kiriku terluka lebih dalam, apakah aku harus ganti menggaruk tangan kananku yang juga tidak gatal? Mengabaikan hal itu, aku memilih untuk memfokuskan padanganku ke sebuah gelas berisi penuh air putih yang berdiri angkuh di atas meja besi di depanku, jika gelas itu saja mampu diam lebih lama, maka aku juga bisa melakukannya, pikirku.
Baskara menggerakkan tangannya dan meletakkannya di atas meja, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku, sembari mengamatiku lebih lekat dari sebelumnya.
“Jadi, apa kamu ingat sudah berapa lama kamu di sini?” Ia mulai membuka mulut dan bersuara lagi, dan aku bosan mendengar suaranya terus-menerus di setiap hariku selama tinggal di sini.
“Aku tak punya cukup waktu untuk menghitungnya,” jawabku pendek setelah diam beberapa saat, karena aku harus merayakan kemenangan kecilku dalam adu diam dengan mereka.
“Memangnya apa yang kamu kerjakan akhir-akhir ini?”
“Selain menyusun rencana kabur dari tempat menyebalkan ini maksudmu?” Sebenarnya pertanyaanku lebih bertujuan untuk mencemooh mereka berdua, tapi nampaknya hal ini sudah tidak mungkin berhasil lagi. Baskara tak merespon, ia membuang napas panjang, mungkin kesabarannya sebentar lagi habis, sedangkan si wanita paruh baya menelengkan kepala ke kanan sambil mengerutkan keningnya, mungkin ia sedang memikirkan menu makan malam bersama kekasihnya yang berkepala botak.
“Sebelas bulan, sudah sebelas bulan kurasa,” aku kembali bersuara karena bosan melihat ekspresi mereka yang menuntut dalam diam.
Baskara kembali menyandarkan punggungnya ke kursi besi yang ia duduki sembari menarik tangannya ke atas paha, tapi tetap dengan menatapku penuh selidik. Tatapannya seperti mata anak sekolah yang tengah konsentrasi mengamati sebuah jasad renik dari lensa mikroskop, pertanyaanku adalah, apakah aku seaneh dan serumit itu untuk dimengerti?
“Sebelas bulan, ya, lebih tepatnya sepuluh bulan lebih tiga belas hari,” Baskara kembali bersuara, “akan tetapi, aku masih mendengar banyak keluhan tentangmu. Suster jaga mengatakan bahwa kamu masih sering menelepon kantor polisi untuk melaporkan sebuah pembunuhan yang bahkan tidak pernah terjadi sama sekali ….”
“Mereka nyata!” Meski aku menjaga suaraku setenang mungkin, bisa terlihat dengan jelas dari caraku memotong kalimatnya bahwa aku keberatan dengan apa yang tengah ingin ia sampaikan.
“Mereka berdua nyata,” ulangku, “Amira dan Asa, mereka ada di sana, di rumahku! Amira tertanam di dalam tembok dapur, dan Asa tergeletak di samping meja kerjaku, dan aku yang menyebabkan mereka berdua tak bernyawa! Aku yang membunuh mereka! Aku tidak ingin terus bersembunyi di balik tembok bangsal ini, aku lelah, aku harus bertanggung jawab atas hilangnya nyawa mereka!” Kini aku tak bisa lagi tenang, aku mulai sedikit histeris dan jantungku terasa berdetak lebih kencang dari sebelumnya, pikiranku kabur, semua hal yang ada di sekitarku perlahan berputar, dan suara-suara yang kubenci itu kembali berteriak di dalam kepalaku. Namun, aku harus tetap berusaha tenang, aku tidak ingin mereka menambah dosis obat yang kuminum setiap hari, aku harus terlihat baik-baik saja. Aku mengambil napas dalam-dalam, memejamkan mata beberapa saat dan kembali setenang mungkin.
“Maafkan aku,” ucapku dengan suara yang sedikit tertahan di tenggorokan, kukira aku akan mati tersedak untuk beberapa saat ketika mengucapkan dua kata pendek yang tak mempunyai makna apa pun itu.
“Apa dia meminum obatnya?” Pertanyaan Baskara kali ini ditujukan kepada wanita paruh baya yang duduk di sebelahnya.