Aku berdiri memandangi taman yang terletak di depan bangsal psikiatri dari balik jendela kaca lantai tiga sedari pagi tadi setelah aku menyelesaikan sarapan bersama penghuni lainnya. Orang lain mungkin akan takut jika melihat kami bersamaan dalam jumlah banyak, bayangkan saja, sekelompok orang yang kalian sebut gila berada dalam sebuah ruangan besar sedang berkumpul dan menyantap sarapan—bukankah itu sebuah pemandangan yang biasa namun akan terasa ganjil jika dilihat dari mata-mata orang yang menyebut diri mereka sebagai manusia normal?
Aku tinggal di sini baru beberapa minggu, namun jika kalian ikut merasakanya, hari-hari panjang yang kukira tanpa ujung ini sudah berlangsung bertahun-tahun, ataukah memang sudah bertahun-tahun aku berada di sini? Aku tak tahu, dan kalian tak perlu menjawab, karena sepertinya sedari lahir aku telah menjadi penghuni tetap tempat ini, tempat yang suram dan menakutkan bahkan bagi orang-orang yang mengaku mencintaimu pun akan enggan untuk berkunjung melihat keadaanmu.
Namun, ketakutan seperti itu nampaknya tak berhasil menggerogoti keberanian Baskara, ia hampir tiap hari menemuiku. Bukan, ia bukan orang yang mengaku mencintaiku, karena orang yang pernah bersumpah akan selalu mencintaiku kini bahkan sudah bersama dengan wanita lain di kasur mereka yang hangat dan empuk, saling berpelukan atau mungkin tengah saling memunggungi sebagai buah dari pertengkaran kecil. Sedangkan Baskara? Ia hanyalah seorang opsir polisi yang bertanggung jawab atas kasusku—begitu aku kira-kira menyebutnya.
“Hai ….” Sebuah tepukan ringan membuyarkan lamunan yang sedari pagi sudah aku bangun dengan begitu rapi. Pemilik suara dan tepukan itu tak lain adalah Baskara, ya, laki-laki yang sudah aku kenal ketika aku masih menjadi kelompok yang menyebut diri sebagai manusia normal. Kami adalah teman ketika SMA, bukan teman dekat, hanya teman yang saling mengenal tanpa pernah terlibat kedekatan dalam bentuk apa pun.