Umbuk Umbai

Iyas Utomo
Chapter #2

Delapan Tahun yang Berakhir

“Aku ingin kita bercerai.”

Banda menghentikan gerakan mengunyahnya, ia tertegun, meletakkan pisau dan garpu yang ia pegang untuk memotong-motong steik yang masih hangat di atas piringnya. Ia menatapku tanpa bersuara apa pun, mungkin saat ini banyak hal bermunculan dari sudut-sudut ruang pikirnya.

“Kita selesaikan makan malam ini, dan membicarakannya setelah kita di rumah nanti,” jawabnya. Banda yang selalu hangat, bersuara rendah namun tetap tegas, kini seperti singa lapar yang berjalan linglung tak tahu arah. Ia hening sejenak, tak langsung melanjutkan makannya. Oh, Banda, sungguh aku juga terluka jika melihatmu sedih seperti saat ini. Namun, semua hal di dunia telah ditetapkan masa kedaluwarsanya masing-masing, dan aku merasa, kinilah saat yang tepat untuk menyudahi penderitaan ini.

Makan malam yang seharusnya menjadi momen spesial sebagai perayaan ulang tahun pernikahan kedelapan kami menjadi canggung, dan makanan apa pun yang masuk ke dalam mulutku semua terasa lebih hambar dari sebelumnya. Meski aku sudah memikirkan semuanya dengan baik sebelum memutuskan untuk mengajukan perceraian ini, semuanya seperti sia-sia jika melihat Banda hancur hanya dalam hitungan detik seperti ini. Sisa perayaan ulang tahun pernikahan kami berlangsung dengan dingin, kehangatan yang biasa kami berikan satu sama lain hilang begitu saja, seperti aroma masakan yang tertelan angin sore yang kering, lenyap tak berbekas, hanya meyisakan sebuah kerinduan yang kami tahu tak akan bisa lagi kami miliki.

Tak banyak yang kami bicarakan sampai perjalanan pulang. Di dalam mobil yang biasa kami habiskan dengan bercerita hal-hal ringan seperti mendialogkan segala hal yang kami lihat di jalan pun kini seperti hal yang begitu asing. Musik dari radio pun tak berhasil menelan sepi dan canggung, padahal jika ini adalah makan malam perayaan ulang tahun pernikahan di tahun-tahun sebelumnya, sudah pasti kami akan menyanyikan banyak lagu-lagu kenangan kami berdua, menyanyi sembari mengingat kembali hal-hal bodoh yang kami lakukan ketika kami masih muda, sungguh sebuah nostalgia yang akan menjadi cerita yang siap tersimpan rapat dalam peti kenangan dan akan selalu terkunci dalam hidup kami. Tak akan tersentuh dan kemudian dilupakan.

Aku tak menyangka bisa melalui perjalanan yang begitu asing ini dengan cukup baik. Sesampainya di rumah, kami pun menuju kamar dan berganti baju. Biasanya kami akan meminum segelas anggur dan bertukar kecupan-kecupan kecil sembari membisikkan kata-kata sayang, namun tidak untuk malam ini. Banda langsung menuju ranjang tempat tidur kami, ia mematikan lampu di atas nakas yang berada tepat di samping sisi ranjangnya, dan memunggungiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menyusul dan merebahkan tubuhku tepat di sampingnya. Awalnya aku ingin sekali membuka pembicaraan, entah apa pun itu, namun kurasa ini bukan waktu yang tepat. Kumatikan lampu di sisi ranjangku, memutuskan untuk munutup mata, dan tentu saja juga memunggunginya. Di dalam hati aku berdoa, semoga malam ini akan berlalu dengan cepat.

*

Lihat selengkapnya