Hari ini aku dan Banda menginap di rumah orang tua Banda, sebuah tradisi yang selalu dilakukan pada tiap ulang tahun ibunya. Aku tidak pernah keberatan dengan tradisi keluarga Banda, meski aku tak begitu suka berkumpul dengan orang banyak, namun, aku harus memberikan maklumku untuk hal yang satu ini. Aku tidak mau dianggap sebagai menantu kurang ajar yang mendominasi suami dan melarang suami untuk tetap dekat dengan keluarganya, tidak, aku bukan istri seperti itu.
Lima tahun aku lalui dengan baik-baik saja, meski tak terlalu baik juga karena tiap saat aku akan selalu menjadi sasaran dikte ibu dan saudara-saudara Banda atas kondisi pernikahan kami. Kadang aku protes kepada Banda, kenapa hanya aku yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengganggu itu, kenapa ia tak pernah sekali pun membantu atau menyelamatkanku dari kondisi menyeramkan ini? Namun, Banda hanya tertawa ketika mendengar aku protes, ia menganggap apa yang dilakukan oleh ibu dan saudara-saudaranya itu hanya sebuah bentuk kepedulian saja, tak lebih.
Tak lebih? Aku pernah ingin sekali melempar gelas ke muka kakak iparku ketika ia membandingkanku dengan teman arisannya yang tak lain adalah mantan Banda ketika SMA dulu, ia berkata si mantan Banda ini sudah mempunyai 3 anak, sepasang kembar yang baru lahir dan seorang anak laki-laki yang berusia 4 tahun, ia menambahkan bahwa si teman itu sangat subur dan tahu sekali bagaimana membuat bahagia suami dan keluarganya. Ya, tolok ukur kebahagiaan dalam pernikahan bagi mereka adalah ada atau tidaknya seorang anak di dalam pernikahan itu—sebuah pemikiran picik dan juga dangkal tentu saja.