Pagi ini, setelah malam perayaan ulang tahun pernikahan yang canggung, aku dihadapkan pada dua pilihan yang sudah bisa kuperkirakan sebelumnya. Pilihan yang akan menjadi penentu langkah-langkahku di kemudian hari, pilihan yang menjadi sekat tipis yang memisahkan kepastian apakah aku harus memberikan kesempatan sekali lagi untuk Banda dan pernikahan kami ataukah aku harus menguatkan hati dan bertahan pada keputusan awal yang telah aku putuskan sebelumnya? Banda menunduk dengan sesekali mengusap punggung tanganku, aku tetap saja bergeming atas permintaannya. Delapan tahun yang sudah kami perjuangkan bersama-sama memang bukanlah waktu yang singkat, namun kenyataannya kami berdua di pagi ini sedang berada di ruang keluarga untuk membicarakan nasibnya.
Semenjak kematian anak kami dua tahun lalu, suasana rumah kami menjadi berbeda. Kami hanya tinggal berdua, rumah yang sebelumnya selalu terasa hangat, kini setelah kepergian anak kami semuanya menjadi terasa dingin dan hampa, usaha apa pun yang kami lakukan untuk menghidupkan kembali rasa hangat itu nampak seperti sia-sia belaka. Kami memang berusaha bersama untuk melewati kehilangan ini, Banda juga hampir tidak pernah menyinggung sama sekali mengenai anak kami—namun hal itu tak berlaku bagi keluarga Banda. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat jika kita melewatinya dengan bersusah payah, berusaha untuk tetap baik-baik saja, berusaha tidak pernah terjadi apa-apa, atau berusaha tetap menerima perlakuan tak menyenangkan dari ibu mertua yang hampir seminggu sekali datang ke rumah dengan membawakan obat-obatan herbal yang menurutnya bagus untuk kuminum agar aku segera kembali mempunyai anak—sungguh suatu hal yang sangat melelahkan.
Pada masa-masa itu, aku menjadi lebih emosional daripada biasanya, rasa ingin menyerah pada kehidupan selalu membayangiku setiap saat. Kadang pikiran-pikiran irasional juga menjadi teman yang baik bagiku. Pernah sekali waktu aku memberhentikan mobil yang sedang aku kendarai di sebuah jembatan, jika tidak ada seorang pejalan kaki yang sedang mencari kunci rumahnya yang hilang saat itu mungkin aku sudah meloncat dari jembatan dan mengakhiri semua penderitaan ini. Bukan berarti aku merasa paling menderita, namun, rasa lelah dan kadang bercampur rasa bersalah kepada Banda menjadi momok yang tidak bisa aku hindari. Diriku yang menakutkan inilah yang menjadi salah satu pertimbanganku untuk mengakhiri pernikahanku dengan Banda, aku sudah terlalu lelah dengan tuntutan dari keluarganya, dan aku juga ingin Banda mempunyai kebahagiaan yang ia inginkan, yakni menjadi seorang ayah. Paling tidak, dengan saling melepaskan, kami berdua bisa hidup dengan lebih baik daripada saat ini.