Setelah perceraianku dengan Banda, aku kembali ke rumah nenek yang didiami oleh tanteku seorang diri. Aku memilih untuk singgah beberapa waktu sebelum akhirnya memutuskan untuk menjalani kehidupan yang benar-benar baru. Saat ini aku hanya ingin hidup tanpa memikirkan apa pun yang bisa membuat keadaanku semakin buruk, ya, meski keputusan bercerai adalah ideku, hal itu tidak lantas membuat diriku baik-baik saja setelah semua proses perceraian selesai—aku butuh menenangkan diri dan menata ulang kembali kehidupanku yang baru.
“Tante dan almarhum nenekmu sudah menduga hal ini dari awal, sebuah perceraian pasti tidak bisa dihindari dari pernikahanmu,” ucap tante Widia yang berhasil memecahkan lamunanku. Sore ini cuaca sangat cerah, dan hal ini membuatku untuk menghabiskan waktu sore di beranda samping rumah sambil menikmati secangkir teh hangat dan sepiring pisang goreng yang baru saja kubeli dari penjual keliling. Aku menoleh ke arah tante Widia yang sore itu terlihat baru saja mandi karena rambutnya masih tergerai basah dengan wajah yang juga tak kalah segar dari bunga-bunga di taman yang beberapa waktu lalu kusiram.
“Kok gitu, Tan?” Tanyaku meminta penjelasan. Tante Widia menghampiriku dan duduk tepat di sisiku, di atas dipan kayu jati yang ditempatkan persis menghadap taman dan jalanan kompleks di balik jeruji pagar rumah. Ia tak lantas menjawab, tatapannya menyeberangi taman dan jatuh pada segerombolan anak kecil yang sedang asyik mengaduk-aduk air selokan di seberang jalan, beberapa saat seulas senyum terlukis di wajahnya yang tenang, mungkin tante Widia sedang mengingat-ingat masa kecilnya atau tengah teringat lelucon lucu yang ia tonton di sebuah program televisi tempo lalu.