Sedari pagi tante Widia disibukkan dengan barang-barang lama yang disimpannya di dalam sebuah peti kayu. Aku tak tahu pasti apa yang sedang ia cari, karena ia tidak mengizinkanku untuk membantunya. Setelah beberapa lama, tante Widia menghampiriku yang sedang duduk di ruang keluarga sambil membawa sebuah kotak berwarna biru gerau, ia nampak semringah sekali.
“Ini dia kejutannya!” Tante Widia setengah memekik dan membuatku semakin penasaran apa yang sedang ingin ia tunjukkan kepadaku. Ia menaruh kotak itu di atas meja dan duduk di lantai, ia mulai mengeluarkan isi kotak dan terlihatlah benda-benda yang nampak tidak asing di mataku. Sebuah album foto tua berwarna hijau gadung, beberapa bingkai foto, sebuah kotak perhiasan dengan manik-manik berwarna zamrud di kiri-kanannya—oh, itu kotak pitaku ketika aku kecil dulu. Karena tak ingin ketinggalan kegembiraan tante Widia, aku pun mengikutinya duduk di lantai dan mulai asyik membolak-balikkan album foto tua itu. Di dalamnya tersimpan foto-foto lama, ada potret diriku ketika pertama kali masuk sekolah, potret ketika tamasya di pantai bersama nenek, dan … aku mengernyitkan keningku ketika aku melihat sebuah foto saat aku masih bayi bersama seorang wanita—ibu?
Entah sejak kapan aku melupakan sosok ibuku, banyak kenangan yang ingin aku lupakan sekaligus ingin aku ingat dalam waktu bersamaan, namun sedari kecil aku lebih gigih untuk melupakan apa pun itu yang berhubungan dengannya. Dan ketika melihat foto ini, semua usahaku nampak seperti sebuah kesia-siaan, kenangan-kenangan yang ingin aku lupakan kini kembali berkelebat dan seperti diputar ulang secara jelas di dalam otakku. Dadaku terasa sesak dan kepalaku mendadak sangat pening, tanganku terasa dingin dan mati rasa, aku mual, aku panik, dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku berlari ke kamar dan mengunci pintu meninggalkan tante Widia yang nampak kebingungan bersama kotak kejutan berwarna biru gerau.