Umbuk Umbai

Iyas Utomo
Chapter #9

Sebuah Awal

Sebuah ketukan mengagetkanku dan membuyarkan fokusku pada meja kerja portabel yang sedang aku rakit sembari mengikuti instruksi yang tertulis di buku panduan. Dengan setengah malas aku berjalan menyeberangi ruangan yang masih berantakan untuk melihat siapa yang tiba-tiba bertamu selarut ini. Aku memutuskan untuk mengintip dari balik tirai jendela sebelum akhirnya membuka pintu. Terlihat dua orang gadis berusia dua puluhan awal sedang berdiri di depan pintu sembari menenteng sebuah kantong kertas berwarna cokelat.

“Cari siapa, ya?” Tanyaku ketika pintu sudah kubuka sepertiga. Mereka berdua tersenyum ramah ketika melihatku.

“Udah tidur ya, Mbak?” Gadis yang lebih tinggi balik bertanya, alih-alih menjawab pertanyaanku.

“Ada apa?” Jawabku agak dingin karena jujur saja mereka berdua bukan tamu yang aku tunggu dan aku sedang tidak ingin berbasa-basi dengan orang baru. Aku tidak berusaha terlihat ramah, dengan harapan mereka akan segera pergi dan aku bisa melanjutkan kesibukanku bersama meja portabel yang dengan susah payah aku rakit.

“Eung, kami tetangga di sebelah. Aku Jena dan ini Tita, sebenarnya ada satu lagi namanya Haura, tapi dia nggak bisa ikut soalnya ada acara sama temen yang lainnya. Kami tinggal di unit 704, tepat di sebelah unit ini, kami bertiga juga masih kuliah jadi mohon maaf kalau nanti-nanti Mbak bakalan keberisikan pas kami lagi kumpul-kumpul sama temen yang lain di rumah.” Begitulah Jena yang ternyata masih mahasiswa ini mengenalkan dirinya dan teman-temannya yang lain. “Oya, kami ada bingkisan buat Mbak,” aku mengernyitkan kening tak mengerti, “sebagai ucapan selamat datang dan permintaan maaf kami kalau seumpama nanti kami bikin ribut-ribut.”

Aku menerima kantong berwarna cokelat yang ternyata adalah makanan cepat saji yang sepertinya mereka beli di restoran seberang flat kami. “Makasih, ya,” kali ini nada bicaraku aku tekankan sedikit bersahabat sebagai tanda terima kasih karena mereka sudah mencoba bersikap ramah.

“Kami nggak disuruh masuk, Mbak?” Gadis bernama Tita kini mulai bersuara yang berujung disenggol oleh Jena karena mungkin ia merasa pertanyaan itu kurang pantas.

“Maaf, Mbak, si Tita ini kalau ngomong emang suka gak dipikirin dulu,” Jena berusaha menjelaskan. “Oya, Mbak namanya siapa?”

“Saya Maryam,” jawabku singkat namun tetap berusaha ramah, “dan, mungkin mampirnya lain kali saja, ya. Saya baru pindahan, belum sempat merapikan semua barang, takutnya nanti tidak nyaman.”

Lihat selengkapnya