Aku mencoba menjalani hariku sebaik yang aku bisa. Meski aku masih mengikuti terapi dengan psikiaterku, terkadang aku merasa perasaan kosong dan tak diinginkan tetap selalu datang menderaku setiap saat. Beberapa kali aku juga bermimpi tetang masa kecilku, mimpi-mimpi yang pada akhirnya membuatku lebih baik terjaga di sepanjang sisa malam daripada harus kembali lelap namun dalam keadaan terancam. Kadang aku berpikir, untuk apa aku terus melakukan semua terapi dan terus meminum obat jika keadaaanku tak juga kian membaik?
Psikiaterku sekali waktu mengatakan bahwa diriku bisa diibaratkan sebagai sebuah peti yang tertutup rapat yang berisi muatan melebihi kapasitas semestinya, dan ketika peti itu dipaksakan tetap menampung semua hal, pada akhirnya dia akan meledak, dan ledakan yang ditimbulkan membuat si peti dan ruang di sekitarnya rusak—lebih tepatnya analogi ini tak hanya berlaku untukku saja tetapi juga berlaku untuk orang lain—kita semua cenderung memasukkan terlalu banyak beban ke dalam pikiran kita, dan tanpa disadari itu semua tak lebih dari sebuah upaya menyakiti diri sendiri di kemudian hari.
Sudah dua tahun lebih aku mengikuti terapi, sebuah terapi yang pada awalnya aku ikuti karena pada saat itu aku membutuhkan pertolongan ketika aku merasa depresi akibat kehilangan anak pertamaku. Kondisiku pada saat itu bisa dibilang sangat kacau, aku menjadi kehilangan nafsu makan, hari-hari kuhabiskan dengan mengurung diri di kamar sembari menangis sepanjang waktu, perasaan bersalah karena tidak bisa menjadi ibu yang baik padahal aku juga belum pernah mendapatkan kesempatan itu, dan rasa putus asa yang teramat menyakitkan hingga berujung upaya bunuh diri. Dan saat ini, ketika aku mengira diriku akan segera membaik dan bisa lepas dari cengkeraman obat-obatan ini, perkara perceraian yang kukira akan berakhir baik-baik saja juga memberikan andil yang cukup besar. Pascacerai aku merasa telah mejadi orang yang gagal karena tidak bisa mempertahankan pernikahanku dan tidak bisa memberikan kebahagiaan bagi suamiku, bukankah itu semua adalah hal yang sangat ironis? Akulah orang yang mengusulkan perceraian dan saat ini aku malah merasa akulah satu-satunya orang yang bertanggung jawab untuk semua hal yang ditimbulkan, padahal aku cukup sadar bahwa bertahan dalam sebuah pernikahan yang toxic juga tidak akan lebih baik dari ini semua.
Tak cukup sampai di sini saja, dua hal itu diperparah dengan ingatan masa lalu yang tanpa peringatan telah meledak di kepalaku, dan hal itu hanya dikarenakan suatu waktu tante Widia yang berniat baik ingin memberikanku sebuah kejutan kecil malah berakhir sebuah petaka baru. Ya, selembar potretku bersama ibukulah yang melemparku pada lubang yang semakin dalam ini, yang jika merujuk pada pernyataan psikiaterku, foto itu adalah sebuah trigger yang kuat. Menurutnya ada banyak hal yang harus diselesaikan dengan masa laluku, dan langkah pertama yang disarankannya adalah aku mesti berdamai dengan diri sendiri—sebuah hal sederhana yang ternyata sangat rumit dan seperti di luar jangkauan manusia mana pun. Ia mengatakan bahwa aku harus bisa belajar untuk melupakan masa lalu dengan semua kengerian dan kesalahan yang telah ditimbulkan. Ia menekankan bahwa semuanya tentu saja tidak bisa dilakukan secara mendadak, tetapi untuk lepas dari semua bayangan masa lalu aku harus memulai melangkah jika ingin tetap menikmati hidup yang lebih seimbang.