Umbuk Umbai

Iyas Utomo
Chapter #11

Bapak Tua si Penadah Cerita

Aku cukup sadar dan tahu dengan pasti bahwa aku bukanlah satu-satunya manusia yang kerap kali terserang perasaan tak menentu yang membuat kondisi psikisku naik turun, meski begitu aku kadang iri jika melihat kehidupan orang lain yang tampak baik-baik saja dan selalu stabil, sangat berbeda sekali dengan apa yang aku punya. Aku bisa saja merasa bahagia, optimis, bersemangat, dan sangat hidup di satu hari, kemudian di waktu selanjutnya aku bisa merasa depresi dan tak bersemangat lagi untuk melanjutkan hidup—sebuah hidup yang dipenuhi dengan lika-liku menyebalkan.

Psikiaterku berkata bahwa hal-hal semacam itu adalah hal yang normal—meski aku cukup yakin tidak ada garis tegas yang menjadi pemisah antara sebuah hal yang dikatakan normal dan tidak normal—asalkan tidak mengganggu kehidupan sosialku dan tidak memengaruhi perspektif hidupku. Dia mengatakan, jika aku mau melihat kehidupan orang lain dari jarak yang lebih dekat, bukan tak mungkin jika saat itu juga aku akan merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia karena tidak mengalami penderitaan yang begitu hebat. Tidak penting apakah kita menjadi orang yang paling menderita atau orang yang paling bahagia, karena semua itu hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan jika kita tidak bisa menerima kehidupan dan bersikap baik kepada diri sendiri, begitu ia selalu berpesan kepadaku.

Awalnya kukira apa yang ia sampaikan hanyalah sebatas pernyataan filosofis yang sering ia gunakan untuk menyemangati pasien-pasiennya, dan ternyata aku salah. Hal serupa juga aku dengar dari bapak penatu yang akhir-akhir ini menjadi salah satu teman terdekatku. Mungkin karena ia sudah lebih lama hidup di dunia sehingga ia mampu berkata-kata dengan baik dalam memaknai hidup ini, seperti waktu itu di sebuah siang yang mendung dan berangin, ketika aku mengunjunginya untuk sekadar bercakap-cakap menghabiskan waktu, ia berkata, “Terkadang manusia terlalu disibukkan berlari tanpa ingat untuk beristirahat dan memeluk dirinya sendiri.” Kala itu aku sempat heran bagaimana ia bisa berpikiran sama persis dengan psikiaterku, lantas ia menjelaskan bahwa tak hanya dia atau psikiaterku saja yang berpikir begitu, orang-orang suci, para pemikir, dan penyair, mereka mempunyai pendapat yang sama tentang hidup ini—bahwa penyebab manusia gagal dalam menemukan ketenangan pikiran dan tak mampu bersikap terbuka terhadap orang lain, gagasan gila, perubahan mendadak, atau tidak mampu bersikap luwes dan terbebas dari tekanan dari segala arah adalah karena hilangnya kemampuan manusia dalam menerima cinta, diri sendiri, dan kehidupan—musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri dan pikiran-pikiran egois yang menggerogotimu dari dalam, bukan dunia atau orang lain, begitu tutupnya.

Benar apa yang dikatakan oleh psikiaterku, dengan banyak bercerita mengenai kondisiku yang sebenarnya kepada orang yang aku percayai bisa membawa dampak yang baik bagi kesehatanku. Lagipula, aku juga sangat menyukai bapak penatu sebagai teman baruku, ia selalu mendengar cerita-ceritaku dengan penuh simpati tanpa menghakimiku, dan mengunjunginya di tiap waktu senggang adalah sebuah hal baru dalam rutinitasku.

Kadang aku berpikir, kenapa orang-orang baik seperti bapak penatu sulit ditemukan di dunia ini? Dan, kenapa baru sekarang aku bertemu dengannya? Apa menurut Tuhan, ini adalah waktu paling tepat dalam kehidupanku?

Waktu yang tepat? Apakah aku tidak terlalu melebih-lebihkan?

Lihat selengkapnya