Umbuk Umbai

Iyas Utomo
Chapter #12

Jalinan Intuisi

Aku merapikan cucianku dan segera pergi ke bapak penatu di lantai satu, awalnya aku hanya akan menaruh cucian dan mengambil baju-baju bersih yang sudah selesai dikerjakan. Tapi di sore itu, bapak penatu menahanku pulang dan memintaku untuk menemaninya mengobrol sambil minum teh dan menikmati ubi goreng yang baru saja ia beli dari warung sebelah, karena sedang tidak ada yang kukerjakan, aku lantas mengiakan saja permintaan itu. Lagipula, aku senang tiap mendengarkannya bercerita soal masa mudanya atau hal-hal lainnya, selalu saja ada hal baru yang menarik tiap bertemu dengannya.

“Bapak jadi ingat pas pertama ketemu dengan istri bapak dulu,” ucapnya sambil terus mengunyah ubi goreng.

“Nggak usah cerita yang aneh-aneh, Pak.” Sebuah suara menyahut dari ruangan sebelah.

Bapak penatu hanya terkekeh, “Aneh gimana? Aku kan selalu cerita apa adanya, Bu,” sahut bapak penatu dengan tetap terkekeh mendengar istrinya mengomel. “Eh, kamu tahu kalau cinta itu sebenarnya hanya sebuah paradoks?” Tanya bapak penatu yang tiba-tiba mengubah topik pembicaraan, sebuah topik yang jika dipikir akan lebih sesuai jika didiskusikan anak muda di kantin kampus selepas istirahat makan siang.

“Paradoks? Gimana itu maksudnya, Pak?” Alih-alih menjawab, aku malah balik bertanya maksud dari pertanyaan yang ia lontarkan, aku hanya ingin mendengar pemikiran uniknya yang terkadang berhasil membuatku terheran-heran.

“Kisah cinta di cerita dongeng mana pun selalu bilang kalau cinta itu menyatukan. Bener, nggak?” Aku mengangguk. “Nah, paradoks yang bapak maksud di sini, ya, konsep menyatukan itu tadi. Kenapa? Karena meski semua orang berkata cinta menyatukan dua manusia, namun pada hakikatnya di situ tetap saja ada dua manusia yang dipisahkan oleh raga, pikiran, dan nilai-nilai yang melekat.” Jelasnya panjang lebar diikuti dengan seruputan teh hangat.

“Persis seperti kata Erich Fromm, ya, Pak?” Aku menanggapi, karena tak berapa lama ini aku baru saja menyelesaikan The Art of Loving karya Erich Fromm.

“Loh, bapak ini kan dulu satu kelas dengan si Erich ini, sering tukeran PR malah,” jawabnya dengan tawa meledak. Aku yang melihatnya juga ikut tertawa, meski aku tak begitu yakin dengan lelucon yang ia lontarkan.

Sebelum bapak penatu berhasil meneruskan lelucon lainnya, seorang pelanggan datang menaruh cucian. Wanita itu adalah tetangga kami yang tinggal di lantai dua.

“Pak, minta kilat, ya. Bisa, nggak?” Tanya si pelanggan.

Lihat selengkapnya