Jam menunjukkan pukul empat sore, dan aku sedang bersiap pergi ke kafe yang terletak di seberang flat hanya untuk me time sambil menyelesaikan buku yang sudah hampir selesai aku baca. Akhir-akhir ini aku sedang tertarik dengan sastra Korea, dan buku karya Kim Young-ha kali ini menjadi pilihanku. Berbicara sastra Korea, mereka seperti dipandang sebelah mata oleh banyak pembaca, mungkin karena tertutup dengan pesona Korean wave yang ditandai dengan merebaknya budaya K-pop di mana-mana, dan mungkin hal itulah yang menyebabkan banyak orang berpikir bahwa novel-novel sastra Korea pasti juga akan terkesan menye-menye dan nge-pop seperti cerita-cerita yang ada di K-drama. Padahal, jika kita mempunyai waktu lebih untuk menguliknya, sastra Korea ini mempunyai daya tarik yang hampir sama dengan sastra Jepang, nuansa depresif yang diciptakan para penulisya membuat apa yang mereka tulis terasa lebih nyata seperti sebuah realitas.
Awal pertemuanku dengan sastra Korea ketika seorang teman menghadiahkanku sebuah novel berjudul Vegetarian karya Han Kang, dan setelah itu aku secara mandiri mencari tahu lebih banyak mengenai sastra Korea dan penulis-penulis lainnya. Selain Han Kang dan Kim Young-ha, karya-karya Jeong You-jeong, Pyun Hye-young, Park Min-gyu, dan Cho Nam-joo, atau penulis-penulis lainnya juga bisa dijadikan sebuah referensi jika ingin mengenal lebih jauh sastra Korea.
Aku bergegas pergi dan mengunci pintu, pada saat itulah aku bertemu dengan tetangga baruku yang bersibuk dengan kardus-kardus besar di lorong. Ia melihatku dan tersenyum sekilas, aku membalas senyum perkenalan ini seramah mungkin, karena seperti intuisiku kemarin, bahwa aku akan menjadi dekat dengannya, maka dari pertemuan awal ini aku berusaha menjadi sosok ramah yang mungkin bisa ia senangi.
“Baru dateng, Mbak?” Sapaku kepadanya.
“Iya, Kak,” jawabnya singkat.
“Perlu saya bantu?” Aku menawari sebuah bantuan sebagai tanda bahwa aku menyambutnya dengan baik di lingkungan ini.