Alunan Liebestraum karya Franz Liszt memenuhi ruangan kamar, menemani waktu siangku yang sengaja aku kosongkan untuk beristirahat penuh setelah hampir dua minggu bersibuk dengan persiapan drama baru yang segera tayang. Sepanjang hari ini aku hanya bermalas-malasan saja di tempat tidur, padahal udara di luar terlihat cerah dan berangin, dan ramalan cuaca yang tadi pagi sempat aku dengarkan di radio juga menerangkan bahwa hari ini Jakarta akan cerah sepanjang hari—sebuah waktu yang pas untuk segelas soda dingin, pikirku. Aku menggeliatkan tubuh, merenggangkan tulang-tulang yang sepertinya akan membeku sebentar lagi jika tidak aku gerakan sama sekali, aku memejamkan mataku kembali, mencari damai dalam sebuah tidur panjang yang selama dua minggu ini tidak bisa aku dapatkan.
Suara teriakan dari unit 702 mengagetkanku, bukankah ini hari Rabu? Kenapa Amira ada di rumah? Apakah hari ini dia kembali izin karena Asa sakit lagi? Aku menajamkan pendengaranku untuk bisa menangkap lebih banyak suara dari rumah Amira.
“Anak nakal! Kamu harusnya tau kalau mama hari ini harus kerja, kenapa selalu saja bikin ulah dan bikin mama sakit kepala, sih.” Terdengar Amira mengomel, yang tak lama disusul dengan suara tangis dari Asa.
Kadang aku merasa kasihan jika mendengar Asa dimarahi oleh Amira, mau bagaimana pun Asa hanyalah seorang anak kecil yang belum bisa berpikir sekompleks orang dewasa. Sedangkan, Amira biasanya nampak tak terlalu menghiraukan saat Asa menangis atau berteriak memohon ampun jika Amira mulai memukulinya. Pernah sekali waktu, aku bertemu dengan Asa di lorong pada malam yang sudah sangat larut, ia berdiri sambil memegangi Popo dan hanya mengenakan singlet yang sangat tipis, entah ibu macam apa yang tega berbuat seperti itu kepada anaknya, dan sering kali aku merasa mengerti dan paham bagaimana perasaan Asa saat itu. Perlakuan-perlakuan kasar Amira mengingatkanku kepada sosok ibuku, orang yang pernah hampir saja membunuhku ketika aku berusia tujuh tahun. Aku berpikir, jika dibiarkan saja, apakah Amira juga akan tega melakukan percobaan pembunuhan kepada Asa hanya karena emosi sesaat?
Suara tangisan Asa tak kunjung mereda, dan semakin keras. Ia terdengar memohon ampun kepada ibunya dan meminta maaf karena sudah melakukan kesalahan. Anak sekecil itu bisa sadar untuk mengakui kesalahannya? Hmmm, sebuah hal sederhana yang sulit dilakukan oleh orang dewasa. Ketulusan terdengar dari permohonan ampun yang ia ucapkan kepada ibunya, namun, hal itu nampaknya tak berhasil menyurutkan emosi Amira, karena suara teriakannya juga terdengar semakin tinggi.
Hampir tiap hari selalu saja ada keributan yang mereka timbulkan, hal ini tentu saja membuat penghuni lainnya merasa terganggu. Pernah sekali waktu mereka protes kepada ketua perkumpulan, mereka mengajukan keluhan untuk gangguan ini, karena sebelumnya lantai tempat tinggal kami selalu tenang, bisa dikatakan sangat jarang terdengar keributan yang mengundang banyak perhatian seperti yang dilakukan oleh Amira.
Aku tak tahan lagi mendengar tangisan Asa, dan hal ini membuatku beranjak dari tempat tidur untuk memeriksa apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku mengetuk pelan pintu rumah Amira, tak lama ia membuka dan di sana terlihat keadaannya sangat kacau sekali. Rambutnya kusut, riasan matanya meluber berantakan, dan bau alkohol menyeruak ketika ia menyapaku—jadi ini penyebab keributan yang mengganggu waktu istirahatku?