Kejadian tempo lalu saat aku menyanggupi untuk menjaga Asa selama Amira bekerja menjadi awal dari hubungan kami yang semakin dekat. Kerap kali Amira tak segan menitipkan Asa ketika ia mesti lembur atau ketika sedang ada urusan di luar, aku mengiakannya dengan senang hati tentu saja, bahkan beberapa kali Asa dibiarkannya menginap di rumahku jika Amira pulang terlalu larut. Sedangkan Asa sendiri juga tidak terlihat keberatan, ia menjadi lebih periang akhir-akhir ini, dan saat kutanya apa ada hal menyenangkan buatnya, ia menjawab bahwa ia merasa bahagia karena bisa lebih sering menginap dan bermain di tempatku. Kala itu aku sangat terenyuh mendengarnya, dan secara tidak langsung aku merasa bahwa kehadiran gadis kecil ini adalah jawaban dari harapanku untuk bisa mengasuh dan membesarkan seorang anak, meski ia tak lahir dari rahimku. Tapi, apakah aku tidak terlalu lancang jika berharap demikian?
Saat ini Asa baru berumur empat tahun, dan ia juga sudah mulai sekolah di sebuah taman kanak-kanak tak jauh dari flat kami. Setiap pagi Amira akan mengantarkannya ke sekolah, dan ia akan menjemputnya ketika sore hari, ya, setelah Asa bersekolah ia akan diikutkan ke layanan day care yang juga merupakan fasilitas yang diberikan oleh sekolahnya. Terkadang jika Amira tak sempat menjemput Asa karena ia mesti lembur, ia akan memintaku untuk menggantikan tugasnya. Awalnya aku sempat ragu-ragu, apakah semua ini akan baik-baik saja? Aku hanya tak ingin disangka sebagai penculik anak yang berkeliaran di lingkungan sekolah, dan Amira mengatakan bahwa ia telah memperkenalkanku kepada pihak sekolah sebagai tante Asa—aku sempat terharu dengan kepercayaan yang ia berikan, namun kadang aku juga berpikir bahwa ia sengaja membebankan ini semua kepadaku karena ia hanya ingin waktu bersantai lebih lama.
Mejemput Asa, menemaninya bermain, menidurkannya ketika siang hari, atau membacakan dongeng ketika ia akan tidur di malam hari adalah rutinitas baru yang menyenangkan untukku. Aku seperti telah hidup dengan Asa sejak lama, dan aku merasa mengenal gadis kecil ini sedari ia lahir, mungkin jika anakku dulu tak meninggal, ia akan sebesar Asa saat ini. Yang kurang menyenangkan dari semua ini adalah sikap Amira yang juga tak kunjung berubah kepada Asa. Saat Asa bersamaku, ia hanya akan tertawa dan bersenang-senang, dan ketika ia kembali kepada Amira, ia selalu terlihat sedih dan terus saja menangis. Aku tak begitu paham, apa yang salah dengan Amira ini, terkadang aku melihatnya sebagai sosok yang sangat membenci Asa, dan sesekali aku akan mendapatinya menangis setelah ia memukuli atau berlaku kasar kepada Asa.
Untuk memenuhi rasa penasaranku, aku kemudian mengundangnya untuk minum teh bersama di rumahku, ia mengiakan dengan senang hati. Awalnya aku ragu untuk menanyakan hal-hal yang terlalu pribadi kepadanya, meski kami berdua telah didekatkan oleh Asa, namun jika diingat-ingat kembali kami berdua sangat jarang mengobrol dalam waktu yang lama. Akan tetapi, karena rasa penasaran dan egoku lebih besar, maka aku berhasil membuatnya untuk bercerita mengenai hal-hal yang ingin aku ketahui dan pahami.