Aku terbangun di tengah malam. Tenggorokanku terasa sangat kering, sehingga memaksaku pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Aku masih setengah sadar ketika mendengar suara tangis yang lirih. Bulu tengkukku meremang, tapi karena rasa penasaranku lebih kuat, alih-alih segera kembali ke tempat tidur, aku tetap diam di tempatku dan menajamkan pendengaranku. Semakin aku mendengarkan, aku kian yakin bahwa aku mengenal suara ini, tapi aku masih belum menyadari apa yang sedang terjadi.
“Mama, ampun, Ma … dingin. Asa dingin.”
Astaga! Bukankah ini Asa? Selarut ini kenapa ia menangis?
“Mama kan sudah bilang, kalau mau tidur itu kamu pipis dulu! Jangan ditahan-tahan, lihat ulah kamu! Kamu ngompol lagi, kan. Sekarang kasur, seprai, dan selimut bau semuanya! Kamu kira mama nggak capek nyuciin ini? Kamu kira kerjaan mama cuman ngurusin kamu aja?” Kini suara Amira terdengar meninggi.