Aku menghabiskan hari Mingguku dengan membuat kue kering, dan berencana untuk memberikannya kepada Asa. Mengingat ia sangat menyukai beruang, maka kue kering yang kubuat siang ini berbentuk beruang berwarna cokelat persis seperti Popo. Aku berharap ia bisa menyukai kue kering yang kubuat khusus untuknya ini.
Setelah selesai membungkus kue-kue kering ke dalam sebuah stoples kaca bermotif ceri, aku bergegas mengantarkannya. Aku mengetuk beberapa kali, namun tidak ada sahutan dari dalam rumah. Sebuah hal yang tak biasa, setahuku Amira selalu berada di rumah di hari Minggu seperti ini. Aku mencoba mengetuk lagi sembari memanggil nama Amira, tetap tak ada jawaban. Hal ini membuatku celingukan, dan tanpa sengaja mataku menangkap tatapan aneh dari arah seberang. Seperti biasa si ibu mata-mata nampak sedang mengawasiku dengan penuh selidik, aku melambaikan tangan ke arahnya masih berusaha akrab, meski aku sangat tahu hal itu hanya sia-sia saja. Aku memutar badanku menghadap pintu unit Amira, dan mencoba mengetuk sekali lagi. Kali ini gagang pintu terlihat bergerak, menandakan bahwa ada orang di dalam rumah. Setelah menunggu beberapa saat, pintu juga tak kunjung dibuka, hanya gagang pintu saja yang bergerak naik turun.
Merasa heran, aku mengintip dari jendela yang terletak tepat di samping pintu. Aku terkejut melihat Asa berada di dalam rumah, ia hanya mengenakan singlet dan rok pendek berenda. Dia tersenyum melihatku, dan bisa kulihat bahwa ia tengah berusaha membukakan pintu dari dalam, namun tak kunjung berhasil karena ternyata tak ada kunci yang menggantung di sana, yang berarti Amira meninggalkan Asa seorang diri di rumah dan mengunci gadis kecil ini. Hal seperti inilah yang kadang membuatku tak habis pikir tentang Amira, apa yang sebenarnya ada di otaknya hingga membiarkan seorang gadis kecil berusia empat tahun terkunci sendirian.
Asa menghampiriku dari balik jendela. Ia menjulurkan lidah sambil tersenyum geli. Aku berusaha menanyakan di mana ibunya saat ini, ia menjawab bahwa ibunya sedang pergi keluar sedari pagiāaku merasa pantas untuk memukul kepala Amira karena keteledoran konyol yang ia lakukan. Aku berpamitan kepada Asa, dan mengatakan jika ia membutuhkan sesuatu ia bisa berteriak sekencang-kencangnya dari dapur, sehingga aku bisa mendengarnya dengan jelas.