Aku bisa mendengar Amira tengah memarahi Asa untuk yang ke sekian kalinya pagi ini. Karena aku sedang menyiapkan sarapan di dapur, aku bisa mendengar dengan jelas apa saja yang ia katakan.
“Kamu udah dibilangin mama berapa kali, sih? Jangan buang-buang makanan, Asa. Kamu mau nggak mama kasih makan? Mau?”
“Nggak enak, Ma,” jawab Asa pelan. Terdengar suara piring dibanting ke lantai dan suara gebrakan meja beberapa kali, diikuti suara tangis Asa.
“Kamu emang nggak tau diri banget, ya, masih kecil aja udah banyak maunya. Sini, ikut mama, sini!”
Aku tak tahu apa yang terjadi di sana, karena suara tangis Asa juga seketika berhenti. Sambil mengunyah roti, aku berpikir cara apa yang akan aku pilih untuk membebaskan Asa dari ibunya. Aku merasa tak tahan lagi jika harus bertahan lebih lama, karena setiap Asa mendapatkan perlakuan kasar dari Amira, tak jarang aku akan memimpikan ibuku—sebuah hal yang cukup menakutkan meski hanya di dalam mimpi.
Setelah menyelesaikan sarapan, aku bergegas berangkat ke kantor agensiku untuk mengikuti rapat yang akan membahas draf naskah yang telah aku siapkan selama seminggu ini. Namun, langkahku terhenti ketika aku melihat Asa berdiri di lorong sambil menangis pelan. Saat aku menghampirinya ia tetap saja menundukkan kepala, tidak biasanya. Aku berjongkok di depannya, dan saat itulah aku melihat memar yang ada di bawah mata kanannya. Tak diragukan lagi, pasti ini ulah Amira. Jika saja aku tidak sedang buru-buru untuk datang ke sebuah pertemuan penting, sudah bisa kupastikan aku akan menggendong Asa dan menenangkannya di rumah, tapi semua ini terjadi pada waktu yang kurang tepat. Saat ini yang bisa aku lakukan hanyalah, mengusap pelan ujung kepalanya dan menjanjikan es krim vanila jika ia berhenti menangis. Mendengar janjiku membuat Asa kembali menegakkan kepalanya dan tersenyum manis.
*
Lebam di bawah mata kanan Asa berhasil mengusikku dua hari ini. Mengingatkanku pada bekas-bekas luka yang dulu juga selalu aku miliki. Bukan suatu hal mudah untuk berdamai dengan kenangan menyeramkan yang meninggalkan banyak tangis dan luka. Dan setelah aku berhasil mengatasi semuanya, aku kini dipertemukan dengan Asa yang mempunyai nasib sama denganku, sebuah nasib yang merupakan takdir dan tak bisa dihindari. Anak-anak sepertiku atau seperti Asa selalu menjadi korban keegoisan orang tua, namun oleh mereka kami dianggap sebagai pihak yang mesti bertanggung jawab sehingga pantas menerima perlakuan kasar dari mereka. Padahal jika ingin bersikap adil, bukankah kami juga tidak pernah meminta untuk dilahirkan?
Bayangan ibu dan masa kecilku juga berhasil menyita perhatianku akhir-akhir ini, dan tak hanya itu, perasaan-perasaan tak diinginkan dan merasa benci dengan diri sendiri juga mulai menguras tenaga, aku masih berusaha sebaik yang kubisa agar aku tak terlempar sekali lagi ke jurang depresi—sebuah tempat tanpa cahaya yang menyebabkan diriku terasing dari kehidupan—sungguh, aku tak ingin ke tempat itu lagi.
Untuk mengalihkan perhatian, aku memutuskan membaca sebuah buku berjudul Vendredi ou la Vie sauvage yang ditulis oleh Michel Tournier—seorang penulis berkebangsaan Prancis. Meski dikategorikan ke dalam jenis ‘sastra serius’, buku ini bisa kukatakan sebagai fan fiction dari karya Daniel Defoe, yang menceritakan kisah terdamparnya Robinson Crusoe di sebuah pulau asing tak berpenghuni, namun buku ini mempunyai fokus penceritaan yang berbeda. Di sini Michel Tournier lebih ingin menjabarkan bagaimana perkembangan psikologis si tokoh utama sebagai manusia yang terasing dan hidup terkucil jauh dari peradaban yang dalam perjuangannya untuk bertahan hidup dengan jiwa yang sehat di alam liar. Sebuah buku yang jika dibaca akan mampu memberikan insight dan membuat si pembaca berkontemplasi tentang kehidupan dan bagaimana cara menjalaninya—aku merasa pernyataan bahwa buku akan menemukan pembaca pada waktu yang tepat, kali ini terbukti dan benar-benar terjadi kepadaku.
Ketika aku mulai tenggelam dengan buku yang tengah kubaca, aku mendengar suara Amira memanggilku. Dan benar saja, ketika aku mengintip dari jendela, aku melihat Amira berdiri dengan menggendong Asa. Aku membukakan pintu untuknya, dan penampilannya malam ini berhasil membuatku terkejut, bagaimana tidak? Malam ini Amira berdandan sangat rapi dan memakai gaun malam yang sangat bagus, bisa diibaratkan gaun yang ia kenakan berhasil melebur dengan dirinya yang cantik.