Aku sengaja tidak menyetel alarm hari ini. Setelah dua hari aku kurang tidur karena bersibuk dengan rancangan proyek baru, kepalaku juga terasa penuh oleh masalah-masalah yang disebabkan oleh Asa, jadi yang kuharapkan hari ini hanyalah tidur panjang tanpa gangguan apa pun. Namun, tampaknya semua ini sebatas harapanku saja. Aku dikagetkan dengan suara berisik dari dapur, ketika aku mencerna apa yang sedang terjadi, aku mendengar suara tangis Asa. Aku melihat ke arah jendela, hari masih gelap, dan ketika aku melirik ke jam dinding, ternyata ini masih jam 5 pagi. Apa yang dilakukan Asa sepagi ini di dapur.
Aku beranjak dari tempat tidur untuk mencari tahu sumber keributan. Dan benar saja, di dapur aku menemukan Asa sedang melempari tembok kosong itu dengan piring, gelas, atau benda apa pun yang bisa ia jangkau dengan tangan mungilnya. Awalnya aku ingin berteriak ketika melihat kekacauan ini, akan tetapi ketika melihat Asa sedang menangis, aku berusaha setenang mungkin dan mendekatinya.
Ketika melihatku mendekat, Asa melemparkan sebuah mangkuk kecil ke arahku dan mengenai keningku. Kali ini kesabaranku telah hilang, aku mempercepat jalanku dan segera merebut pisau roti yang kini ia pegang.
“Asa, kamu kenapa?” Aku masih berusaha menenangkannya meski kesabaranku sudah di ujung tanduk.
“Asa kangen sama mama. Asa nggak mau lagi tinggal sama Tante Maryam.” Ia berteriak dengan lantang.
Aku yang tadinya berusaha menahan marah, kini kubiarkan semuanya meledak. Aku menyeretnya ke kamar dan mendudukkannya di tempat tidur. Aku memegang mukanya dan bertanya kenapa ia terus saja mencari ibunya, padahal ibunya tidak pernah sayang kepadanya.
“Bohong! Tante Maryam bohong, mama sayang Asa. Dan mama nggak pernah membenci Asa. Pokoknya Asa mau ketemu sama mama. Asa mau tinggal sama mama!”