Ana merasakan ketegangan di tengkuk ketika ia mendongak dari atas kasur. Teriakan demi teriakan yang menggema di pagi hari bukan hal baru baginya. Itu pasti embah. Cuma satu penyebabnya. Antara jengkel atau sakit kepala menjadi bentuk utama dia melengking. Retno yang saat itu baru pulang dari pasar hanya menggeleng pasrah dengan ketidakberdayaan ibunya. Selain itu, tidak lagi dihiraukan karena akan menimbulkan masalah pelik.
Seperti biasa, Retno mulai menjajakan dagangan di tempat tanam semen yang dibentuk seperti meja. Penjualan hasil meracang bertahun-tahun sudah dilakukannya sejak sang suami terkena serangan jantung. Sekitar 10 tahun silam, otak Retno sudah tersusun ingin bekerja di rumah sembari menemani putra putrinya yang masih bersekolah. Mereka sekeluarga terpaksa pindah ke rumah embah meski tidak disetujui Ana mau pun Bara. Watak yang dimiliki embah Wakiah tidak seperti embah lainnya yang sangat mencintai cucu-cucunya. Justru makian dan hinaan menjadi satu-kesatuan yang melekat erat dalam napas panjangnya.
Embah juga tak rela berbagi kehidupan dengan anak-anak yang tidak bisa diatur menurutnya. Apalagi badan embah masih sehat bugar termasuk bibirnya yang mengoceh sepanjang hari, melampiaskan amarah. Embah sendiri punya kesibukan. Jika Retno meracang di depan rumah, embah meracang di pasar. Jadi kedua orang itu memiliki penghasilan dari profesi yang sama. Apalagi untuk kebutuhan sehari-hari yang harusnya dibagi menjadi dua, semuanya dibebankan pada Retno. Termasuk listrik, sabun, sampo, beras, minyak, dan banyak hal lainnya. Ditambah pakdenya yang masih menganggur sejak bercerai dengan sang istri menjadikan manusia tak berpenghasilan semakin bergerombol di dalam rumah. Fenomena tersebut yang membuat hati Ana mencelos.
Pernah suatu ketika, saat semua barang telah berpindah dari rumah kontrakan ke rumah embah. Malamnya, sedikit demi sedikit barang yang dirasa memenuhi tiap ruangan, dijual embah diam-diam ke pedagang rongsokan. Hal itu disadari Retno setelah seminggu atau pekan kedua barangnya menghilang.
“Kenapa embah nggak mau ngerti kondisi kita sih, Ma?” tanyanya suatu saat.
“Ya, mau gimana lagi. Kayak baru kenal embah aja kamu, Na.”
Kondisi tersebut juga baru dirasa Ana ketika ia selesai wisuda dan waktunya hanya untuk membantu mamanya. Bantuan itu seperti, menyediakan uang kembalian, mengambil bahan-bahan dari kulkas untuk dikeluarkan, menghitung total belanjaan dan memasak bekal Bara. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Ana meski predikat Summa Cum Laude bersandar di badannya. Penyesalan memang datang di akhir, ia tidak memaksimalkan dunia organisasi saat kuliah. Harusnya ia mencari koneksi, memberikan materi yang terbaik agar praktiknya memenuhi kriteria perusahaan. Jadwal Ana siang ini hanya berkutat di kamar, melihat story teman-temannya yang sibuk menyelami aktivitas melalui ponsel.
“Anakmu itu susah diatur. Kalau perawan aja malas-malasan begitu, gimana kalau bersuami?”
“Ana kan anakku, Bu. Biar aku urus sendiri dia. Sudahlah, aku masih harus berjualan.”
Samar-samar Ana mendengar perdebatan dari luar kamar. Ia mengintip sekilas, nampak Retno yang masih menguliti bawang merah tetap melawan argumen embah. Ana mendesah pelan, harusnya kejadian ini sudah cukup baginya. Dia sudah dewasa, apakah boleh jika ia melawan sesekali? Belum selesai pemikirannya mendapat hasil. Suara pecahan barang memekik keras di gendang telinganya.
“KURANG AJAR KAMU YA! Kalau kamu nggak aku tampung di rumah ini, kamu dan anak-anakmu pasti jadi gelandangan!” Embah membanting helm punya Bara dan Ana bergantian. Merasa itu adalah benda miliknya, Ana keluar dari persembunyian ternyaman.
“Embah ini kenapa sih?” Ana melihat Retno dan embah bergantian, berharap ada penjelasan yang diinginkan. Retno nampak tak peduli dan tetap diam dengan kesibukan yang sama.
“Cari kerja sana, Na! Jangan diam aja di rumahku. Ingat ya kalian! Ini rumahku bukan rumahmu!” Guratan nadi di ototnya tercetak jelas, embah sangat marah.
“Terus kalau aku kerja, pakde nggak kerja gitu? Dia juga nganggur ya di sini!” Pertahanan Ana keruh. Ini pertama kalinya dia berani melawan meski tidak memiliki pengalaman. Dia memang bukan siapa-siapa. Betul, jika Ana, Bara dan Retno menggantungkan kehidupannya di rumah embah. Tapi kita masih bisa mencari makan dan kebutuhan sehari-hari pakai keringat sendiri. Justru embah yang harus memarahi pakde. Sudah tidak membantu malah menjadi parasit tak berkeuntungan. Sakit ulu hati Ana ketika embah masih mengoceh sepanjang hari pada Retno.
“Anakmu itu, Retno, Retno! Dulu aku tidak membesarkanmu seperti itu, kenapa anakmu justru membangkang begitu?”
“Awas kalau Ana nggak keluar dari sini. Aku seret dia ke jalanan!”
Embah macam apa yang menyakiti hati anggota keluarganya itu. Darah dagingnya sendiri. Apa karena kita terlalu lama berteduh di rumah ini hingga dia risih dan melampiaskan kekesalannya pelan-pelan. Berbagai cara yang dilakukan Retno untuk meredam amarah embah sudah maksimal. Ana kadang kasihan, kalau mamanya diharuskan untuk mengurusi embah yang tidak tau diri.
“Bara, sementara ini jangan pakai helm dulu ya. Baru aja dirusak embah.” Ana menunduk, merasa gagal menjadi kakak yang baik. Padahal ia sendiri kebingungan menanggapi perpecahan yang terjadi.
“Tenang aja. Aku naik bus kok.” Setelah melahap habis makanan yang tersedia di meja, Bara mencium punggung tangan Retno dan keluar gang dengan berlari. Setelah kepergian Bara, Ana baru bisa melihat-lihat kamar pribadi adik lelakinya itu dengan saksama. Ana hanya takut apabila Bara terjerumus ke pergaulan yang tidak benar. Menjadi pelajar baru di dunia putih abu-abu memang menyenangkan sekaligus menyeramkan. Jika tidak hati-hati, lubang yang salah menjadi penghalang jembatan masa depan. Itu juga berlaku pada adiknya, Bara.
Keluar dari kamar Bara, matanya bertemu tatap dengan embah. Ana melengos tanpa sapa dan pergi ke depan rumah membantu mamanya yang kelimpungan. “Dasar pengangguran!” Hanya itu yang ditangkap indra pendengaran Ana. Embah sedang memaki, menghina agar mentalnya terganggu. Tidak digubris Ana agar otaknya tetap waras tinggal di rumah ini.
…
Keesokan harinya, Ana mengunjungi makam sang ayah yang meninggal sejak sepuluh tahun silam. Nisan bertuliskan Andre Wicaksono terlihat paling terang di antara batu nisan lainnya. Retno memang telaten merawat kuburan suaminya. Diam-diam Ana tersenyum mendapati keromantisan yang dulu bersinar, mungkin hingga sekarang. Tidak ada kata temaram di hidup mamanya. Mungkin fisik papa telah mati, tapi jiwanya berada dekat di sisinya.
Taburan bunga mawar memenuhi tanah kuburan. Nampak segar, dan paling benderang. Gadis itu menampilkan sederetan gigi putihnya supaya kekosongan hati yang diutarakan tidak membuat raga ayahnya sedih di alam baka.
“Ayah. Doakan Ana supaya cepat dapat kerja ya.” Tangannya membelai lembut nama lengkap ayahnya.