Ana membuka grup alumni kampusnya yang masih aktif membagikan poster lowongan kerja. Sejujurnya Ana kesal dan stres melihatnya. Sebab apa? Sebab ketika datang ke tempat yang dituju, Curriculum vitae-nya tidak berlanjut sampai tahap berikutnya. Hingga suatu ketika, ada seorang teman yang dia kenal baik sedang membutuhkan pertolongan. Dari sana, Ana mulai mencetak persyaratan resmi yang diperlukan perusahaan. Dengan cepat, teliti dan penuh keyakinan kali ini. Ana bolak-balik memeriksa ulang berkasnya, siapa tau ada yang tertinggal.
Hari ini Ana akan bertemu manajer perusahaan logistik di pusat kota. Tentu saja sebagai formalitas meski dirinya sudah direkomendasikan oleh Shinta, teman satu perjuangan ketika masih berkuliah. Koneksi. Ya, itu yang disebut orang dalam bagi sebagian khalayak yang tidak terima. Menurutnya, dengan timing dan kesabaran, seseorang akan mendapat kepercayaan penuh untuk manifesting pengalaman baru.
Gedung bertingkat di depan jalan raya besar menyita perhatiannya. Pasti tiap insan yang melewati gedung itu akan terkagum-kagus dengan kemegahan yang muncul di padatnya ibu kota. Halaman begitu luas, tempat parkir yang ditata rapi serta beberapa truk dan kontainer pengangkut kotak kargo berjejeran di luar gedung. Tangan Ana kuat menggenggam map bening yang terus dipeluknya. Ia dibimbing satpam untuk bertemu manajer umum PT. Sentosa Cargo.
Saat lift terbuka, hawa individualis dan kapitalis menusuk indra penciuman Ana. Udara kantor yang sangat dingin, bersahabat dan mengedepankan visi misi membuat bulu kuduknya merinding. Ana belum tau alasan Shinta mengundurkan diri dari perusahaan ini. Semangat mendapat pekerjaan baru jelas tercetak saat Shinta menawari tiba-tiba. Tanpa interview, tanpa tes accounting, psikolog dan tetek bengek lain yang diharuskan menunggu dua Minggu atau berapa lama. Di perusahaan ini, Ana langsung diterima tanpa diketahui berapa persentase keahlian yang dipunya.
“Selamat pagi.” Ana menutup pintu kembali dan berjalan menemui manajer umum yang sedang menandatangani sejumlah dokumen.
“Pagi.” Dia menengadah. Tatapannya terjurus pada Ana. Gadis itu memaksakan senyum ketika mengetahui siapa orang di balik kacamata bening.
“Ari?” Ana berlari mendekat sampai bajunya menyentuh kursi putar di hadapan lelaki itu.
“Selamat datang, Na.”
Senyum yang candu. Serupa bola salju yang menyejukkan. Ana berdeham untuk menutupi rasa gugup.
“Ah, terima kasih.”
“Kamu yang bakal gantiin Shinta?” Ari mempersilakan gadis itu duduk. Sekejap Ana mengangguk mantap. Memangnya ada lagi selain dia di ruangan ini, ucapnya dalam hati.
“Iya benar.” Semangatnya tidak lagi menggebu-gebu. Dia harus professional. Tidak ingin mencampurkan urusan pekerjaan dan urusan…