UMUR 20

Arfiah Rachman
Chapter #2

#2 Pencarian

Matahari rasanya seperti tersenyum, burung-burung seakan bernyanyi, langit terlihat cerah, tapi tidak dengan suasana hatiku. Pagi ini ada tetangga yang membicarakan orangtuaku tepat di depan rumahku, katanya orangtuaku tidak bisa mendidiku, karena sampai sekarang aku belum dapat pekerjaan, sedangkan anaknya sudah menjadi kepercayaan dari bosnya. Aku hanya tersenyum miris, aku memang masuk sekolah SMK telat karena masalah biaya. Umurku sekarang tepat 20 tahun baru dua hari yang lalu.

"Bunda, aku hari ini mau cari pekerjaan lagi," ucapku pada Bunda yang saat ini sedang memasak sayur di dapur sederhana milik kami. Bunda hanya menganggukan kepalanya, Bunda pasti sedih karena ucapan tetanggaku pagi ini.

Kenapa si ucapan orang lain itu lebih tajam dari sebuah pisau? Bahkan rasanya melukainya hingga sangat dalam, sampai rasanya kecewa kepada diri sendiri. Aku kerja di diomongin, aku nggak kerja tambah diomongin lagi. 

Semalam hujan turun, sehingga jalan di dekat rumahku banyak air menggenang. Aku berjalan hati-hati agar celana hitamku tidak terciprat air. Sebuah motor yang melintas dengan cepat tanpa melihat jalan yang menggenang langsung mencipratkan airnya dan tepat mengenai pakaianku, aku terkejut karena kejadian itu terjadi dengan tiba-tiba.

"Eh, maaf ya Arinda, aku buru-buru mau meeting," ucap Ninuk tetanggaku lalu dia berjalan lagi dengan motor barunya, yang katanya diberikan secara cuma-cuma oleh perusahaan tempat dia bekerja, ibunya setiap belanja sayur selalu membicarakan itu, aku rasa mulutnya punya kecepatan tiga kali lipat saat membicarakan kelebihan anaknya, aku tersenyum getir. Hari ini tidak bisa mencari kerja, aku hanya mempunyai satu kemeja putih dan satu celana hitam. Rasanya aku ingin marah dan menangis secara bersamaan.

Aku berjalan gontai menuju rumah, aku benar-benar ingin menangis, kenapa hari ini tidak berjalan dengan baik, membuatku semakin kecewa pada diri sendiri.

"Arinda kenapa bajunya kotor?" Tanya Bu Ida tetanggaku yang sedang menjemur baju.

"Kecipratan air Bu, tadi ada motor yang melintas kencang," jawabku.

"Hati-hati mangkanya kalau jalan," ucap Bu Ida sambil menjemur. Aku hanya tersenyum lalu berpamitan.

Hati-hati? Tentu saja itu yang tadi aku lakukan, saran macam apa itu? Apa aku harus ucapkan terimakasih untuk itu? Suasana hatiku sedang tidak baik. Sesampainya di depan rumah, aku melihat Bunda sedang menyapu halaman, rasanya aku sangat ingin memeluknya, menangis dalam pelukannya. Tidak, aku tidak boleh jadi cengeng.

"Bun," panggilku dengan suara pelan. Bunda melihat ke arahku lalu terlihat kaget.

Lihat selengkapnya