Tengah hari di Slashig.
Dua buah mobil terlihat melaju di jalanan utama, melaju dengan kecepatan yang lumayan. Riocless dan yang lainnya sudah menunggu di lobi gedung, siap menyambut kedatangan Zolenor dan anak buahnya.
Dreath lebih dulu keluar dari lobi dan berseru,
“Astaga! Lihatlah! Mereka bawa Bigfoot! Hahaha...”
Yang lainpun ikut keluar, dan melihat dengan takjub terhadap kendaraan yang dibawa oleh tamunya. Selama bertahun-tahun, kendaraan yang mereka ketahui masih tersisa hanyalah bus, van, dan sedan. Itupun bahan bakar yang tersedia sangat terbatas, jadi kendaraan yang mereka miliki bisa kehilangan fungsi kapan saja.
Dua mobil berroda besar itu berhenti di pelataran Gedung Slashig, deru mesinnya meraung-raung di udara. Dua orang turun dari mobil pertama, dan tiga lainnya turun dari mobil di belakangnya. Riocless mengawasi mereka berlima yang benar-benar membawa senjata. Dreath mengenali salah satunya, itu adalah Kalashnikov, senjata yang sangat diinginkannya sejak berusia tigabelas tahun. Senjata yang saat ini hampir mustahil bisa didapatkan.
Lima orang itu berjalan ke arah gedung, orang pertama dengan tubuh seukuran Dreath mengenakan mantel kulit yang terlihat tipis, mata siaga mengawasi sekitar dan memiliki seringai menyebalkan. Dua orang paling belakang adalah orang botak yang turun dari mobil pertama, dan yang lainnya adalah orang yang berukuran sangat besar, kemudian yang satu lagi sangat kecil dengan memakai tudung.
Riocless menjabat tangan orang dengan seringai menyebalkan itu,
“Terimakasih untuk kedatangan kalian.”
Orang itu menjabat tangan Riocless dengan kuat, “Ya... tentu saja.” katanya.
“Silakan masuk Zolenor.” pinta Maya.
“Anu... Rio... Maya...” Dreath memotong pembicaraan, “Dia bukan Zolenor.”
Riocless terhenyak, begitu pula yang lain. Orang itu tertawa lebih menyebalkan dari seringainya. Bahkan nyaris terpingkal-pingkal.
“Hahaha... Kau pikir aku Tn. Zolenor?”
“Sudahlah Eight.” kata suara di belakang. Orang yang dipanggil Eight itu menyingkir masih sambil menyeringai. Orang yang memakai tudung maju ke depan dan membuka tudung kepalanya, “Aku Zolenor.”
“Kau Albino!” seru Maya, ia tak bisa menahan diri dan segera merasa malu setelah itu.
Orang yang bernama Zolenor itu terlihat seperti anak seusia Valz, atau mungkin seumuran Valz. Tapi entah berapa usia aslinya. Dan dia Albino, seluruh tubuhnya putih tak wajar, dan matanya berwarna biru cerah, “Ah... tolong maafkan ketidaksopananku.” tambah Maya buru-buru.
“Tak masalah.” jawab Zolenor dengan tenang, Riocless masih mematung di tempatnya, hingga Dreath menyenggol lengannya.
“Eh... Mari kita ke ruang kerjaku.” Ajak Riocless yang memandang Dreath penuh tanda tanya.
Merekapun menuju lantai atas dengan menaiki lift yang sempit, orang yang bertubuh tinggi besar itu membawa dua tas koper dengan warna silver-metalic. Ruang kerja Riocless saat itu sudah ditata sedemikian rupa, sehingga bisa digunakan untuk bernegosiasi dan transaksi.
*****
Valz sudah menyiapkan minuman hijau-kekuningan itu pada lima orang tamunya, ia telah diberitahu bagaimana cara menyajikan Absinthe itu oleh Kakek Riocless. Kakek Riocless juga meminjamkan sendok unik yang merupakan bagian dari penyajian si minuman. Sendok itu berukuran lebar dan panjang dengan lubang-lubang di tengahnya, bukan seperti sendok pengaduk teh atapun sendok makan.
Sendok khusus itu diletakkan di atas gelas dan kemudian diberi gula padat kotak, dan Valz menuangkan Absinthe itu melalui gula padat, ia hanya menuangkan sekitar seperempat gelas, kemudian Valz membakar gula itu hingga ia menjadi karamel dan meleleh ke bawah. Setelah beberapa saat ia memberikan es dan mengaduknya.
“Terima kasih.” kata Zolenor. Ia menyeruput sedikit minuman itu, diikuti oleh anak buahnya.
“Jadi selama ini kalian tinggal di Monumen Herios?” tanya Riocless dengan sopan.
“Benar.”
“Kalian tidak ingin bergabung dengan kami?” Riocless bertanya lagi, “Mungkin kita bisa menyatukan kekuatan untuk menghancurkan mereka.”
“Menghancurkan? Para vampir maksudmu?” Zolenor mencemooh, “Mereka telah ada jauh sebelum kita semua yang berada di sini lahir Tn. Riocless.” Mata biru cerah yang cenderung pucat itu memandang kosong.
“Benar. Tapi kita harus mempertahankan bangsa kita.” Riocless meyakinkan tamunya.
“Aku lebih senang jika semuanya bisa hidup berdampingan.”
“Kau lebih senang mereka membantai manusia?” tanya Maya dengan nada agak tinggi.
“Tidak juga. Lagipula... Aku ke sini hanya untuk bertransaksi, bukan untuk perekrutan anggota Vanator atau apapun itu.” jawabnya tanpa mengubah ekspresi.
“Baiklah. Maya tolong berikan kertas itu...” Riocless memanggil wakilnya.